Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SYA'BAN BULAN MERAWAT

Tidak terasa saat ini kaum muslimin telah memasuki pekan pertama bulan Sya’ban. Artinya sebentar lagi ummat Islam akan menemui bulan yang mulia, Bulan Ramadhan. Namun terkadang seorang muslim terlalu fokus pada bulan Ramadhan tetapi melalaikan keberadaan bulan – bulan sebelum Ramadhan, khususnya bulan Sya’ban.

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan.” (HR. Al Nasa’i)

Pada bulan Sya'ban, umumnya umat Islam sibuk dengan persiapan-persiapan menyambut Ramadlan. Tetapi seringkali persiapan itu berkisar hanya masalah materi. Pedagang sibuk menyiapkan stok untuk menghadapi gebyar Ramadhan, yang biasanya sangat ramai. Panitia pengajian, sibuk mengadakan acara-acara penutupan pengajian, yang terkadang diisi dengan makan-makan atau rekreasi bareng.

Bahkan ada kesimpulan konyol dari sebagian masyarakat yang menjadikan Sya’ban sebagai bulan pelampiasan. Mumpung belum Ramadhan, mereka puas-puaskan berbuat maksiat, “Mumpung belum Ramadhan. Nanti kalau sudah Ramadhan, puasa kita bisa tidak sah.”

Padahal Sya'ban adalah bulan yang memiliki kedudukan penting dalam kalender Hijriyah, yang terletak tepat sebelum bulan suci Ramadan. Meskipun tidak sepopuler bulan Ramadan, bulan Sya'ban adalah waktu yang penuh berkah dan kesempatan bagi umat Islam untuk meningkatkan ibadah serta mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.

Sya’ban yang merupakan bulan terdekat dengan bulan Ramadhan merupakan momen yang palig pas untuk menyiapkan diri menemui Bulan Ramadhan. Seorang Ulama, Abu Bakar Al-Balkhi rahimahullah berkata : Bulan Rajab bulan (saatnya) menanam. Bulan Sya’ban bulan (saatnya) menyiram tanaman dan bulan Ramadhan bulan (saatnya) menuai hasil.

Pahala besar yang datang bersama Ramadhan sudah dapat kita mulai persiapkan jauh sebelum bulan suci itu tiba. Hal ini bisa dimulai sejak bulan Rajab, sebagai masa menanam benih amal yang nantinya akan kita tuai di bulan Ramadhan. Mulai membiasakan diri berbuat baik sesuai tuntunan syariat di bulan Rajab, kemudian beristiqomah dengan kebaikan tersebut di bulan Sya’ban sehingga bisa ringan menjalanakan amal – amal shalih di bulan Ramadhan.

Secara khusus Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam memberikan perhatian di bulan Sya’ban dengan meningkatkan berbagai amalan ibadah. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam memperbanyak amalan sunnah, khususnya berpuasa di bulan ini, sebagai bentuk persiapan menyambut Ramadhan.

Dari [Abu Salamah] bahwa ‘Aisyah radhiyallahu anha menceritakan kepadanya, katanya: Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah melaksanakan puasa dalam sebulan yang lebih banyak dibandingkan bulan Sya’ban. Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam  berpuasa penuh di bulan Sya’ban. Beliau bersabda: “Lakukan amalan sesuai dengan segala kemampuan kalian, karena Allah tidak akan bosan (memberi pahala), hingga kalian sendiri yang merasa bosan (mengerjakannya)”.Dan shalat yang paling dicintai Nabi adalah shalat yang dikerjakan secara istiqamah meskipun sedikit. Dan bila Beliau sudah biasa melaksanakan shalat (sunnah), maka beliau akan menjaga kesinambungannya. (HR. Bukhari)

Sya'ban adalah bulan yang memiliki banyak rahmat dan pengampunan dari Allah ta’ala, yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh setiap Muslim yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Selama bulan Sya'ban adalah waktu yang penuh keberkahan, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan baik agar mendapat rahmat dan ampunan Allah ta’ala.

Di sisi lain ibadah merupakan salah satu tujuan penciptaan manusia. Dan untuk merealisasikan tujuan tersebut, diutuslah para rasul dan kitab-kitab diturunkan. Orang yang betul-betul beriman kepada Allah ta’ala tentu akan berlomba-lomba dalam beribadah kepada Allah ta’ala.

Artinya bibit amalan yang ditanam di bulan Rajab dan dirawat di bulan Sya’ban serta dipanen di bulan Ramadhan bukan hanya ibadah ruhiyah (hablum min Allah) namun juga ibadah dalam pengertian secara umum.

Luasnya cakupan ibadah dapat kita lihat dari definisi ibadah yang disampaikan oleh ulama, yakni “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik ucapan atau perbuatan, yang lahir (tampak, bisa dilihat) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa dilihat).” 

Para ulama menjelaskan bahwa secara garis besar, ibadah dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah Mahdhah adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:

Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam kemusyrikan.

Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.

Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya. Contoh sederhana ibadah mahdhah adalah shalat.

Adapun ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:

Pertama, ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat pelakunya.

Kedua, maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan atau kebutuhan yang bersifat duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat.

Ketiga, amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak ada wahyu dari para rasul.

Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah adalah aktivitas makan. Makan pada asalnya bukanlah ibadah khusus. Orang bebas mau makan kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan dengan menu apa saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan.

Bisa jadi orang makan karena lapar, atau hanya sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi, aktivitas makan tersebut bisa berpahala ketika pelakunya meniatkan agar memiliki kekuatan (tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid.

 

Khatimah

Ibadah ada bermacam jenisnya, baik ibadah mahdhah seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an dan sebagainya serta Ibadah ghairu mahdhah. Ibadah  ini tidak membutuhkan niat dalam pelaksanaanya, cukup dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariat. Artinya seorang muslim yang menjalankan perbuatannya dengan benar dengan niat mentaati syariat Allah ta’ala, niscaya akan memperoleh pahala dari perbuatan yang seakan – akan perbuatan dunia, misalnya berdagang dengan jujur, berpolitik sesuai tuntunan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, berpakaian menutup aurat, dan sebagainya.

Di bulan Sya’ban yang merupakan bulan terdekat menjelang Ramadhan, kita tingkatkan amal ibadah, bukan hanya yang mahdoh namun juga yang ghairu mahdoh. Membiasakan melakukan perbuatan harian  dengan niat mentaati Allah dan Rasulullah. Senantiasa mengikuti tuntunan-Nya karena semua perbuatan yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik ucapan atau perbuatan, yang lahir (tampak, bisa dilihat) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa dilihat) bisa bernilai ibadah dan mendapatkan pahala.

Wallahu a’lam bi ashowab.

Posting Komentar untuk "SYA'BAN BULAN MERAWAT"