SYA'BAN BULAN MERAWAT
Diriwayatkan
dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'Anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya,“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia
mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan.” (HR. Al Nasa’i)
Pada
bulan Sya'ban, umumnya umat Islam sibuk dengan persiapan-persiapan menyambut
Ramadlan. Tetapi seringkali persiapan itu berkisar hanya masalah materi.
Pedagang sibuk menyiapkan stok untuk menghadapi gebyar Ramadhan, yang biasanya
sangat ramai. Panitia pengajian, sibuk mengadakan acara-acara penutupan
pengajian, yang terkadang diisi dengan makan-makan atau rekreasi bareng.
Bahkan
ada kesimpulan konyol dari sebagian masyarakat yang menjadikan Sya’ban sebagai
bulan pelampiasan. Mumpung belum Ramadhan, mereka puas-puaskan berbuat maksiat,
“Mumpung belum Ramadhan. Nanti kalau sudah Ramadhan, puasa kita bisa tidak
sah.”
Padahal Sya'ban adalah bulan yang memiliki kedudukan
penting dalam kalender Hijriyah, yang terletak tepat sebelum bulan suci
Ramadan. Meskipun tidak sepopuler bulan Ramadan, bulan Sya'ban
adalah waktu yang penuh berkah dan kesempatan bagi umat Islam untuk
meningkatkan ibadah serta mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Sya’ban
yang merupakan bulan terdekat dengan bulan Ramadhan merupakan momen yang palig
pas untuk menyiapkan diri menemui Bulan Ramadhan. Seorang Ulama, Abu Bakar
Al-Balkhi rahimahullah berkata : Bulan Rajab bulan (saatnya) menanam. Bulan
Sya’ban bulan (saatnya) menyiram tanaman dan bulan Ramadhan bulan (saatnya)
menuai hasil.
Pahala besar yang datang bersama Ramadhan sudah dapat kita
mulai persiapkan jauh sebelum bulan suci itu tiba. Hal ini bisa dimulai sejak
bulan Rajab, sebagai masa menanam benih amal yang nantinya akan kita tuai di
bulan Ramadhan. Mulai membiasakan diri berbuat baik sesuai tuntunan
syariat di bulan Rajab, kemudian beristiqomah dengan kebaikan tersebut di bulan
Sya’ban sehingga bisa ringan menjalanakan amal – amal shalih di bulan Ramadhan.
Secara khusus Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
memberikan perhatian di bulan Sya’ban dengan meningkatkan berbagai amalan
ibadah. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam memperbanyak amalan sunnah,
khususnya berpuasa di bulan ini, sebagai bentuk persiapan menyambut Ramadhan.
Dari [Abu Salamah] bahwa ‘Aisyah radhiyallahu anha
menceritakan kepadanya, katanya: Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah
melaksanakan puasa dalam sebulan yang lebih banyak dibandingkan bulan Sya’ban.
Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam berpuasa
penuh di bulan Sya’ban. Beliau bersabda: “Lakukan
amalan sesuai dengan segala kemampuan kalian, karena Allah tidak akan bosan
(memberi pahala), hingga kalian sendiri yang merasa bosan (mengerjakannya)”.Dan
shalat yang paling dicintai Nabi adalah shalat yang dikerjakan secara istiqamah
meskipun sedikit. Dan bila Beliau sudah biasa melaksanakan shalat (sunnah),
maka beliau akan menjaga kesinambungannya. (HR. Bukhari)
Sya'ban adalah bulan yang memiliki banyak rahmat dan
pengampunan dari Allah ta’ala, yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh setiap
Muslim yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Selama bulan Sya'ban
adalah waktu yang penuh keberkahan, umat Islam dianjurkan untuk
memperbanyak amalan-amalan baik agar mendapat rahmat dan ampunan Allah ta’ala.
Di sisi lain ibadah merupakan salah satu tujuan penciptaan manusia. Dan
untuk merealisasikan tujuan tersebut, diutuslah para rasul dan kitab-kitab
diturunkan. Orang yang betul-betul beriman kepada Allah ta’ala tentu akan
berlomba-lomba dalam beribadah kepada Allah ta’ala.
Artinya bibit
amalan yang ditanam di bulan Rajab dan dirawat di bulan Sya’ban serta dipanen
di bulan Ramadhan bukan hanya ibadah ruhiyah (hablum min Allah) namun juga
ibadah dalam pengertian secara umum.
Luasnya
cakupan ibadah dapat kita lihat dari definisi ibadah yang disampaikan oleh
ulama, yakni “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua
yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik ucapan atau perbuatan, yang lahir
(tampak, bisa dilihat) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa
dilihat).”
Para ulama
menjelaskan bahwa secara garis besar, ibadah dapat dibagi dalam dua kelompok
besar, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah Mahdhah adalah ibadah yang murni ibadah,
ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:
Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan
jenis ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan
atau ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak
bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang
menunjukkan terlarangnya ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam kemusyrikan.
Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang
yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.
Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu,
tidak ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya. Contoh
sederhana ibadah mahdhah adalah shalat.
Adapun ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:
Pertama, ibadah
(perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi,
berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat pelakunya.
Kedua, maksud pokok
perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan atau kebutuhan yang bersifat
duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat.
Ketiga, amal perbuatan
tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak ada wahyu dari para rasul.
Contoh sederhana dari
ibadah ghairu mahdhah adalah aktivitas makan. Makan pada
asalnya bukanlah ibadah khusus. Orang bebas mau makan kapan saja, baik ketika
lapar ataupun tidak lapar, dan dengan menu apa saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan.
Bisa jadi orang makan
karena lapar, atau hanya sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi,
aktivitas makan tersebut bisa berpahala ketika pelakunya meniatkan agar
memiliki kekuatan (tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid.
Khatimah
Ibadah ada
bermacam jenisnya, baik ibadah mahdhah seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an
dan sebagainya serta Ibadah ghairu mahdhah. Ibadah ini tidak membutuhkan niat dalam
pelaksanaanya, cukup dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan
oleh syariat. Artinya seorang muslim yang menjalankan perbuatannya dengan benar
dengan niat mentaati syariat Allah ta’ala, niscaya akan memperoleh pahala dari
perbuatan yang seakan – akan perbuatan dunia, misalnya berdagang dengan jujur,
berpolitik sesuai tuntunan Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam, berpakaian menutup aurat, dan sebagainya.
Di bulan Sya’ban
yang merupakan bulan terdekat menjelang Ramadhan, kita tingkatkan amal ibadah,
bukan hanya yang mahdoh namun juga yang ghairu mahdoh. Membiasakan melakukan
perbuatan harian dengan niat mentaati
Allah dan Rasulullah. Senantiasa mengikuti tuntunan-Nya karena semua
perbuatan yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik ucapan atau perbuatan, yang
lahir (tampak, bisa dilihat) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa
dilihat) bisa bernilai ibadah dan mendapatkan pahala.
Posting Komentar untuk "SYA'BAN BULAN MERAWAT"