Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SEJARAH MASA LALU

Sungguh manusia melewati kehidupannya hanya dalam tiga waktu, yakni kemarin, waktu yang telah berlalu. Hari ini yang sedang dijalani, dan hari esok yang masih menjadi misteri.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun pun terus berganti. Pada Hakikatnya manusia melewati kehidupannya dalam tiga hari : Kemarin – Hari ini dan Hari Esok.

Berkaitan dengan hal ini Allah ta’ala berfirman yang artinya,“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al Hasyr : 18)

Ayat di atas mengingatkan manusia agar senantiasa mengingat tentang “apa yang telah diperbuat (kemarin)” untuk “hari esok (akhirat)”.

Hari kemarin telah menjadi bagian sejarah masa lalu. Waktu yang telah berlalu tidak akan kembali, namun catatan sejarah masa lalu dapat berfungsi sebagai evaluasi diri bagi manusia sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari ummat, bangsa, atau negara secara umum.

Apa yang sudah dikerjakan ?

Apa perbuatan yang dilakukan sudah sesuai dengan tununan Allah ta’ala dan Rasul-Nya?

Adakah yang harus diubah, diperbaiki atau ditinggalkan ?

Inilah fungsinya catatan sejarah. Membantu manusia untuk meng-evaluasi diri atau ber muhasabah. Secara etimologis, muhasabah merupakan bentuk mashdar (bentuk dasar) dari kata hasaba-yuhasibu yang kata dasarnya hasaba-yahsibu atau yahsubu yang berarti menghitung. 

Seseorang melakukan muhasabah karena keyakinan bahwa Allah Ta’ala akan menghitung amal semua hamba-Nya. Jika amal seseorang baik maka akan mendapatkan balasan dari Allah kebaikan juga. Dan sebaliknya jika amalan seseorang itu buruk maka balasan yang buruk juga dari Allah.

Begitu pentingnya muhasabah ini hingga Sayyidina Umar bin Khattab pernah bertutur:

 “Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.”

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya :

 “Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah Ta’ala.”

Setidaknya, ada lima manfaat yang bisa kita rasakan dari aktivitas introspeksi diri ini.

Pertama. Dengan introspeksi diri, kita akan mampu melihat kembali perjalanan hidup, manakah yang paling dominan dari perjalanan selama ini? Apakah kebaikan atau keburukan? Apakah manfaat atau mudarat? atau apakah semakin mendekat atau justru semakin menjauh dari Allah ta’ala?

Kita harus menyadari bahwa semua yang kita lakukan ini harus dipertanggungjawabkan di sisi Allah. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an yang artinya : “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (QS. Yasin: 65)

Kedua, upaya memperbaiki diri. Dengan introspeksi diri, kita akan mampu melihat kelebihan dan kekurangan diri yang kemudian harus diperbaiki di masa yang akan datang. Dengan memperbaiki diri, maka kualitas kehidupan akan lebih baik dan waktu yang dilewati juga akan senantiasa penuh dengan manfaat dan maslahat bagi diri dan orang lain.

Waktu yang kita lalui benar – benar dimanfaatkan untuk beramal shaleh sehingga kita termasuk orang yang beruntung. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya tetap di atas kesabaran.” (QS. Al-’Ashr : 1-3).

Ketiga, momentum mawas diri. Diibaratkan ketika kita pernah memiliki pengalaman melewati jalan yang penuh lika-liku, maka kita bisa lebih berhati-hati ketika akan melewatinya lagi. Mawas diri akan mampu menyelamatkan kita dari terjerumus ke jurang yang dalam sepanjang jalan. Allah berfirman: “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al Maidah : 92)

Keempat, memperkuat komitmen diri. Setiap orang pasti memiliki kesalahan. Oleh karenanya, introspeksi diri menjadi waktu untuk memperbaiki diri dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kembali kesalahan yang telah dilakukan pada masa lalu. Jangan jatuh di lubang yang sama. Buang masa lalu yang negatif, lakukan hal positif hari ini dan hari yang akan datang.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda bersabda yang artinya : “Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka).” (HR Al-Hakim).

Kelima, sebagai sarana meningkatkan rasa syukur dan tahu diri. Kita harus sadar sesadar-sadarnya bahwa keberadaan kita sampai dengan saat ini sama sekali tak bisa lepas dari nikmat-nikmat yang telah dikaruniakan Allah ta’ala. Oleh karenanya, introspeksi diri akan membawa kita mengingat nikmat yang tak bisa dihitung satu persatu.

Jangan sampai kita menjadi golongan orang-orang yang tak tahu diri dan kufur kepada nikmat Allah. Allah ta’ala mengingatkan kita dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 7 yang artinya,"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Adapun beberapa cara yang bisa dilakukan sebagai perwujudan muhasabah diantaranya:

1.      Berkumpul dengan orang shalih. Memiliki teman yang shalih amat dibutuhkan. bisa saling mengingatkan agar senantiasa bermuhasabah dan menghindari segala larangan Allah Ta’ala;

2.      Terbuka dengan nasehat. Jika ada suatu pendapat yang baik walaupun datang dari orang bawah tetap dilaksanakan;

3.      Menyendiri. Bentuk evaluasi dan introspeksi diri yang berguna adalah dengan menyendiri saat bermuhasabah. Maimun bin Mihran, beliau berkata: “Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya.” (HR Tirmidzi).

 

Khatimah

Muhasabah merupakan salah satu perbuatan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Muhasabah perlu dijadikan sebagai kewajiban dalam diri manusia, karena memberi banyak kebaikan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Muhasabah sangat perlu untuk dilakukan untuk sarana menilai dan memeriksa ulang apa yang sudah dilakukan, sehingga kemudian memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.

Wallahu a’lam bi ashowab

Posting Komentar untuk "SEJARAH MASA LALU"