Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BERIMAN KEPADA YANG GHAIB

Isra’ Mi’raj adalah peristiwa yang agung, Allah ta’ala memberikan keistimewaan pada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam untuk melakukan perjalanan mulia bersama malaikat Jibril mulai dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Kemudian dilanjutkan dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha untuk menghadap Allah ta’ala Sang Pencipta Alam Semesta. 

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsho yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Isra’ ayat 1).

Isra Miraj adalah peristiwa yang menguji keimanan umat Islam, terutama pada saat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam menyampaikan kisah ini kepada para shahabat. Beberapa orang meragukan keaslian cerita tersebut, tetapi mereka yang memiliki iman kuat, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, langsung mempercayainya tanpa ragu.

Peristiwa ini juga menekankan pentingnya iman kepada hal-hal gaib, seperti keberadaan malaikat, Sidratul Muntaha, dan kebesaran Allah Ta’ala yang melampaui logika manusia. Dengan merenungi peristiwa Isra Miraj, kita diajak untuk memperkuat kepercayaan kepada kebesaran Allah Ta’ala dan mempercayai bahwa segala sesuatu yang datang dari-Nya memiliki tujuan baik.

Secara bahasa, kata ghaib adalah bentuk masdar dari kata ghaa-ba, yang berarti setiap yang tidak dapat dicerna oleh panca indera, baik yang diketahui atau tidak. Secara istilah, beriman kepada yang ghaib adalah percaya kepada segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan tidak bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi hanya dapat diketahui berdasarkan wahyu (khabar) yang diterima oleh para Nabi dan Rasul.

Dalam permasalahan ini ahlus sunnah wal jama’ah berkeyakinan bahwa beriman kepada yang ghaib adalah merupakan salah satu sifat dari orang-orang mukmin. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Alif lam mim. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi merek ayng bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunuuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Terj. QS. Al-Baqarah: 1-5)

Ada dua pendapat tentang makna iman di dalam ayat di atas. Pertama. Bahwasanya mereka mengimani segala yang ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera (dan akal), yaitu hal-hal yang telah diberitakan tentang Allah Ta’ala dan tentang Rasul-Nya. Kedua. Bahwasanya mereka beriman kepada Allah Ta’ala di waktu ghaib sebagaimana mereka beriman kepada-Nya di waktu hadir, dan ini berbeda dengan orang-orang munafik. Kedua makna di atas tidak bertentangan, bahkan keduanya harus ada pada diri seorang mukmin.

Di dalam ayat yang mulia ini Allah menegaskan, bahwa salah satu dari sifat seorang mukmin adalah bagaimana dia dapat mengimani hal yang ghaib, yaitu dengan cara membenarkan segala yang telah dikabarkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya mengenai hakikat sifat-sifat Allah ta’ala atau hal-hal yang telah terjadi maupun yang akan terjadi; keadaan akhirat, hari kebangkitan, surga, nereka, shirat, dan hari perhitungan, dan lainnya dari hal-hal ghaib.

Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata: Yang dimaksud dengan beriman kepada hal ghaib adalah segala bentuk pembenaran terhadap Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya dan bentuk pembenarannya adalah dengan amal perbuatan.

Berkata ar-Rabii’ bin Anas: Yang dimaksud adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, surga-Nya, neraka-Nya dan beriman terhadap kehidupan setelah mati.

Berkata Ibnu Mas’ud: Termasuk di dalamnya adalah beriman tentang adanya dan keberadaan Jin.

Mengutip tulisan Tohirin el Ashry, Iman kepada yang gaib menjadi syarat fundamental dalam Islam. Keimanan ini berarti percaya seyakin-yakinnya (haqqu al-yaqiin) bahwa ada entitas di luar dunia indrawi. Entitas ini adalah sesuatu yang nyata, bukan sekadar ajaran filosofis abstrak ataupun perumpamaan (majaz).

Tuhan bukannya ajaran filosofis yang muncul dari renungan orang-orang yang kalah menghadapi realitas kehidupan sebagaimana dituduhkan kaum atheis. Surga dan neraka bukanlah sekadar ajaran penghibur dan alat untuk menakut-nakuti seseorang agar dia tidak berbuat semena-mena. Tapi, semuanya benar-benar ada (al-haq). Dengan kata lain, orang mukmin wajib meyakini bahwa ada realitas yang tak terjangkau oleh kemampuan manusia. Ada entitas non logis di luar daya visual (quwwah an-nadzri) dan daya pikir (quwwah al-fiqri) manusia.

Ajaran inilah yang membedakan Islam dengan materialisme. Modernisme yang datang dari Barat (westernisasi) agaknya ingin menggusur akidah Islamiah digantikan dengan akidah jahiliyah ini. Kepercayaan seseorang kepada yang ghaib semakin menipis. Mereka terlalu mengedepankan rasionalitas empiris. Dimensi non materi dipojokkan dan dituduh sebagai sesuatu yang serba mitos. Orang yang percaya pada sesuatu yang gaib dikatakan sebagai orang yang kurang modern.

Kelompok inilah yang disebut oleh Al Quran, “Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.'' (Terj. QS Al-Jaatsiyah : 24).

Kelompok materialis hanya memercayai kehidupan materi. Mereka percaya hanya hukum alamlah yang menyebabkan semuanya hancur. Tak ada kuasa di balik semua yang riil. Keadaan dunia ini tidak ada kaitannya dengan dimensi ghaib termasuk kuasa Tuhan. Keimanan seorang mukmin pada yang ghaib akan menjadi cara pandang yang membedakannya dengan seorang materialis. Keimanan ini menjadi alat kontrol, sehingga seseorang akan senantiasa berbuat jujur di manapun berada.

 

Khatimah

Tidak semua yang tidak terlihat tidak ada. Angin tidak terindera, namun ia nyata adanya. Aliran listrik tidak bisa dilihat namun kita yakin ada. Gelombang suara tidak terlihat namun secara faktual kita bisa berkomunikasi melalaui telepon dan alat komunikasi lainnya. Otak manusia tidak bisa dilihat dan diraba, namun kita yakin bahwa setiap orang memiliki otak di kepalanya.

Ada sisi yang tidak bisa dijangkau oleh nalar atau tidak bisa digapai oleh indera manusia, maka dalam hal demikian ini cukuplah dalil naqli yang kita peroleh dari Al Qur’an dan hadits Nabi muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam sebagai petunjuk untuk hadirnya keimanan dan keyakinan pada hati seorang mukmin.

Wallahu a’lam bi ashowab.

Posting Komentar untuk "BERIMAN KEPADA YANG GHAIB"