BERIMAN KEPADA YANG GHAIB
Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid Aqsho yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. Isra’ ayat 1).
Isra Miraj adalah peristiwa
yang menguji keimanan umat Islam, terutama pada saat Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi wa Sallam menyampaikan kisah ini kepada para shahabat. Beberapa orang
meragukan keaslian cerita tersebut, tetapi mereka yang memiliki iman kuat,
seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, langsung mempercayainya tanpa ragu.
Peristiwa ini juga menekankan
pentingnya iman kepada hal-hal gaib, seperti keberadaan malaikat, Sidratul
Muntaha, dan kebesaran Allah Ta’ala yang melampaui logika manusia. Dengan
merenungi peristiwa Isra Miraj, kita diajak untuk memperkuat kepercayaan kepada
kebesaran Allah Ta’ala dan mempercayai bahwa segala sesuatu yang datang
dari-Nya memiliki tujuan baik.
Secara
bahasa, kata ghaib adalah bentuk masdar dari kata ghaa-ba, yang berarti setiap
yang tidak dapat dicerna oleh panca indera, baik yang diketahui atau tidak. Secara istilah, beriman kepada yang ghaib adalah percaya
kepada segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera dan tidak
bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi hanya dapat diketahui berdasarkan
wahyu (khabar) yang diterima oleh para Nabi dan Rasul.
Dalam permasalahan ini ahlus sunnah wal jama’ah berkeyakinan bahwa
beriman kepada yang ghaib adalah merupakan salah satu sifat dari orang-orang
mukmin. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Alif lam mim.
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi merek ayng
bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan
kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunuuk dari Rabb
mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Terj. QS.
Al-Baqarah: 1-5)
Ada dua pendapat tentang makna iman di dalam ayat di atas. Pertama. Bahwasanya
mereka mengimani segala yang ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera
(dan akal), yaitu hal-hal yang telah diberitakan tentang Allah Ta’ala dan
tentang Rasul-Nya. Kedua. Bahwasanya mereka beriman kepada Allah Ta’ala di
waktu ghaib sebagaimana mereka beriman kepada-Nya di waktu hadir, dan ini
berbeda dengan orang-orang munafik. Kedua makna di atas tidak bertentangan,
bahkan keduanya harus ada pada diri seorang mukmin.
Di dalam ayat yang mulia ini
Allah menegaskan, bahwa salah satu dari sifat seorang mukmin adalah bagaimana
dia dapat mengimani hal yang ghaib, yaitu dengan cara membenarkan segala yang
telah dikabarkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya mengenai
hakikat sifat-sifat Allah ta’ala atau hal-hal yang telah
terjadi maupun yang akan terjadi; keadaan akhirat, hari kebangkitan, surga,
nereka, shirat, dan hari perhitungan, dan lainnya dari
hal-hal ghaib.
Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata: Yang dimaksud dengan beriman kepada hal
ghaib adalah segala bentuk pembenaran terhadap Allah, kitab-kitab-Nya, dan
rasul-rasul-Nya dan bentuk pembenarannya adalah dengan amal perbuatan.
Berkata ar-Rabii’ bin Anas: Yang dimaksud adalah orang-orang yang beriman
kepada Allah, malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, surga-Nya, neraka-Nya
dan beriman terhadap kehidupan setelah mati.
Berkata Ibnu Mas’ud: Termasuk di dalamnya adalah beriman tentang adanya dan
keberadaan Jin.
Mengutip tulisan Tohirin el Ashry, Iman kepada
yang gaib menjadi syarat fundamental dalam Islam. Keimanan ini berarti percaya
seyakin-yakinnya (haqqu al-yaqiin) bahwa ada entitas di luar dunia indrawi. Entitas ini adalah sesuatu
yang nyata, bukan sekadar ajaran filosofis abstrak ataupun perumpamaan (majaz).
Tuhan bukannya ajaran filosofis yang muncul
dari renungan orang-orang yang kalah menghadapi realitas kehidupan sebagaimana
dituduhkan kaum atheis. Surga dan neraka bukanlah sekadar ajaran penghibur dan
alat untuk menakut-nakuti seseorang agar dia tidak berbuat semena-mena. Tapi, semuanya benar-benar ada (al-haq). Dengan kata lain, orang mukmin wajib meyakini bahwa ada realitas
yang tak terjangkau oleh kemampuan manusia. Ada entitas non logis di luar daya
visual (quwwah
an-nadzri) dan daya pikir (quwwah
al-fiqri) manusia.
Ajaran inilah yang membedakan Islam dengan
materialisme. Modernisme yang datang dari Barat (westernisasi) agaknya ingin
menggusur akidah Islamiah digantikan dengan akidah jahiliyah ini. Kepercayaan
seseorang kepada yang ghaib semakin menipis. Mereka terlalu mengedepankan
rasionalitas empiris. Dimensi non materi dipojokkan dan dituduh sebagai sesuatu
yang serba mitos. Orang yang percaya pada sesuatu yang gaib dikatakan sebagai
orang yang kurang modern.
Kelompok inilah yang disebut oleh Al Quran, “Dan
mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain
masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.'' (Terj. QS Al-Jaatsiyah :
24).
Kelompok materialis hanya memercayai
kehidupan materi. Mereka percaya hanya hukum alamlah yang menyebabkan semuanya
hancur. Tak ada kuasa di balik semua yang riil. Keadaan dunia ini tidak ada
kaitannya dengan dimensi ghaib termasuk kuasa Tuhan. Keimanan seorang mukmin pada yang ghaib akan menjadi
cara pandang yang membedakannya dengan seorang materialis. Keimanan ini menjadi
alat kontrol, sehingga seseorang akan senantiasa berbuat jujur di manapun
berada.
Khatimah
Tidak semua yang tidak terlihat tidak ada.
Angin tidak terindera, namun ia nyata adanya. Aliran listrik tidak bisa dilihat
namun kita yakin ada. Gelombang suara tidak terlihat namun secara faktual kita
bisa berkomunikasi melalaui telepon dan alat komunikasi lainnya. Otak manusia
tidak bisa dilihat dan diraba, namun kita yakin bahwa setiap orang memiliki
otak di kepalanya.
Ada sisi yang tidak bisa dijangkau oleh
nalar atau tidak bisa digapai oleh indera manusia, maka dalam hal demikian ini
cukuplah dalil naqli yang kita peroleh dari Al Qur’an dan hadits Nabi muhammad Shalallahu
Alaihi wa Sallam sebagai petunjuk untuk hadirnya keimanan dan keyakinan pada
hati seorang mukmin.
Posting Komentar untuk "BERIMAN KEPADA YANG GHAIB"