Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akad Muamalah


 Allah ta’ala berfirman yang artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. (QS. Al Baqarah : 185)

Pada ayat ini dijelaskan bahwa petunjuk Al Quran itu berlaku umum, sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Ayat 185 Sûrah Al-Baqarah tadi, menjelaskan nilai petunjuk Al Quran itu sendiri yang bersifat netral, siapa pun dapat mengambil dan memanfaatkannya, apakah dia seorang mukmin, seorang muslim, seorang kafir, seorang musyrik, atau seorang atheis yang tidak bertuhan sekalipun, seperti nilai-nilai keadilan, kejujuran, tolong-menolong dalam kebaikan dan kebenaran dan lainnya yang merupakan petunjuk Al Quran yang bersifat universal.

Sekedar untuk mendekatkan pemahaman kita terhadap nilai petunjuk Al Quran yang bersifat universal ini, kita bandingkan dengan sinar matahari yang sangat berguna bagi kehidupan. Manusia yang melakukan kegiatan di siang hari, dengan sinar terik matahari, tidak lagi memerlukan alat penerangan lainnya. Kebanyakan tanaman yang terkena sinar matahari, akan berkembang dengan baik dan menjadi segar. Jemuran kita akan cepat kering, jika terkena sinar matahari, dan seterusnya. Itu semua berlaku secara umum, selama si penerimanya dalam kondisi sehat dan normal.

Akan tetapi, jika si penerimanya dalam kondisi tidak normal atau sakit, seperti orang yang sedang sakit mata, maka jangankan sinar matahari yang terik, lampu remang-remang pun sudah menyusahkannya, karena matanya terasa perih ketika secercah cahaya menerpa penglihatannya.

Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber hukum utama dalam agama Islam adalah petunjuk dan pedoman hidup manusia. Islam adalah agama yang sempurna yang memberikan petunjuk dengan tatanan kehidupan yang baik. Tatanan berhubungan antara manusia dengan Tuhannya, Hubungan manusia dengan sesamanya maupun hubungan (perlakuan) manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu aturan Islam dalam mengatur interaksi manusia dengan sesamanya adalah adanya syariat tentang akad dalam hubungan muamalah.

Akad menurut bahasa berarti ikatan atau tali pengikat. Adapun terminologi fikih, akad terbagi dua yaitu Akad dalam pengertian umum yang berarti “Segala yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik bersumber dari keinginan pribadi seperti waqaf atau bersumber dari dua pihak seperti jual-beli”. Akad dengan makna luas ini dijelaskan dalam firman Allah ta’ala,“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Qs. al Maidah: 1)

Adapun akad dalam pengertian khusus, yakni “Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada sesuatu perikatan”.

Ditinjau dari cara atau bentuknya, para ulama membagi akad menjadi beberapa bentuk, yaitu:

a.      Aqad Al-Mu’athah (Saling Memberi)

Akad Mu’athah adalah akad saling menukar dengan perbuatan yang menunjukkan keredaan tanpa ucapan ijab dan qabul. Praktek semacam ini sering ditemukan dalam praktek jual beli dengan sistem swalayan. Seorang pembeli memilih sendiri barang yang dibeli sesuai dengan bentuk, jenis, kualitas dan harga barang yang diinginkannya. Lalu barang-barang yang telah dipilih tersebut diserahkan kepada kasir (terkadang) tanpa ucapan sedikitpun. Sementara sang kasir sibuk dengan layar monitor (komputer) untuk mengecek harga barang yang akan dijual. Pada akhirnya sang pembeli mengeluarkan sejumalah uang sesuai dengan  nominal yang tertera pada layar monitor. Praktek semacam ini sah menurut fikih Islam dan termasuk bagian dari thasharruf bil fi’li (transaksi dengan perbuatan)

 

b.      Akad bi Al-Isyarat (Akad dengan Isyarat)

Bahasa isyarat yang digunakan oleh orang bisu untuk menyampaikan kehendaknya dapat diterima sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi, dengan catatan bahasa isyarat tersebut dapat dimengerti dan difahami oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Jika seseorang tidak mampu berbicara maupun menulis, maka bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak sama nilainya dengan lisan. 

 

c.       Aqad bi Al-Kitabah (Akad dengan Tulisan )

Akad bi al-kitabah merupakan jenis transaksi (akad) dengan tulisan (seperti; nota, surat pesanan dan atau bahkan lewat SMS, email, dan sejenisnya) yang dapat dipastikan akurasi dan kepastiannya. Akad semacam ini sah untuk dilakukan, oleh dua orang yang berakad baik keduanya mampu berbicara maupun tidak (bisu), keduanya hadir pada waktu akad ataupun tidak hadir (dititipkan lewat orang kepercayaannya), dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua orang yang berakad. 

Suatu perjanjian dianjurkan dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan alat bukti apabila terjadi persengketaan dikemudian hari.  Allah ta’ala berfirman pada QS. Al Baqarah : 283, yang artinya :

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalam QS. Al-Baqarah 283 ini dapat dipahami bahwa Allah Ta’ala menganjurkan untuk melakukan suatu perjanjian secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut.

Hikmah dengan disyariatkannya akad dalam muamalah, antara lain:

1.      Munculnya pertanggung jawaban moral dan material

2.       Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak

3.      Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak

4.      Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah

5.      Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas

 

Khatimah

Allah ta’ala berfirman artinya,”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya : 107).  Rahmat artinya mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat.

Islam senantiasa mendatangkan kemaslahatan atau kebaikan. Kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan bagi manusia secara umum, baik laki atau perempuan, kaya ataupun fakir, baik bagi kaum yang beriman maupun yang ingkar. Setiap ketentuan dari Allah swt dan Rasul saw senantiasa memberikan hikmah kebaikan bagi yang menjalankannya.

Namun terkadang hikmah kebaikan itu tidak langsung ditemukan oleh seseorang, maka dalam hal ini hendaknya seorang muslim senantiasa beriman terhadap  perintah dan larangan Allah ta’ala. Saat ia taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, niscaya ia akan menemukan blessing in disguise atau berkah dibalik syariat tersebut. 

Wallahu a’lam bi ashowab

Posting Komentar untuk "Akad Muamalah"