Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penghormatan Pada Guru

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Pada kongres tersebut lahirlah PGRI. Pemerintah kemudian menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional sebagai wujud penghormatan dan penghargaan terhadap peran penting para pendidik.

Namun sebagaimana peringatan hari – hari lainnya, peringatan Hari Guru Nasional masih berkutat pada urusan seremonial, seperti upacara, lomba – lomba dan sejenisnya. Belum menempatkan kemuliaan seorang guru sebagaimana tujuan adanya Hari Guru Nasional. Kalaupun ada perbincangan tentang “penghargaan” umumnya arahnya berkaitan dengan materi belaka.

Hari Guru sering kali menjadi momen bagi siswa dan orang tua untuk menunjukkan penghargaan kepada guru atas dedikasi dan pengabdian mereka. Salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah dengan memberikan hadiah.

Pemberian hadiah pada dasarnya adalah perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang artinya,"Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai."(HR. Bukhari).  

Namun hadiah yang diberikan dalam konteks pekerjaan dapat berubah hukumnya menjadi  tidak diperbolehkan. Hal ini disebabkan adanya unsur gratifikasi, risywah (suap), atau pengaruh yang dapat memengaruhi sikap dan keadilan guru dalam mendidik siswa.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,”Siapa saja yang telah kami pekerjakan dan telah kami beri rezeki (upah tetap), maka semua harta yang dia dapatkan di luar hal itu adalah harta ghulul (khianat)." (HR. Abu Dawud).  

Hadis ini menunjukkan bahwa pemberian tambahan berupa hadiah dalam konteks pekerjaan dianggap tidak dibenarkan jika tidak melalui aturan yang jelas. Hal ini termasuk hadiah untuk guru sebagai bentuk apresiasi atas pekerjaannya.  

Ustadz Hafiz Taqwa,LC., M.Ed. dosen Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, memberikan solusi bagi wali murid yang ingin tetap menunjukkan rasa terima kasih kepada guru tanpa melanggar syariat. "Salah satunya adalah dengan menyerahkan hadiah melalui pihak sekolah. Dengan cara ini, guru tidak mengetahui siapa yang memberikan hadiah, sehingga tidak ada unsur subjektivitas atau keberpihakan."

 

Islam memuliakan Guru

Islam adalah agama yang sempurna yang diturunkan oleh Allah ta’ala melalui Nabinya yang Agung, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam, sebagai petunjuk dan agama yang benar bagi manusia. Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,”Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al Fath : 28)

Ayat ini menjelaskan tentang Islam sebagai agama yang keadaannya hak (benar), penuh dengan keadilan, ihsan dan rahmat. Agama yang hak di sini menurut mufassir adalah amal saleh yang menyucikan hati, membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan meninggikan kedudukan.

Islam memberikan aturan kehidupan tentang tata cara hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum min Allah), Hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min an naas) maupun hubungan manusia dengan dirinya sendiri (perlakuan terhadap diri sendiri). Dalam hal ini Islam juga memberikan panduan tentang posisi guru serta hubungannya dengan pihak lain, khususnya dengan muridnya.

Jika kita perhatikan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis nabi, kita akan menemukan tingginya kedudukan para guru dan mulianya profesi mereka. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat”.

Dr. Hidayatullah Ismail, Lc,. MA menulis, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: melalui ayat ini Allah memuji kedudukan orang berilmu. Imam Al-Qurtubi menyimpulkan bahwa seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah ta’ala pertama karena keimanannya kedua karena keilmuannya.

Penyebutan “iman” dan “ilmu” pada ayat di atas menunjukkan bahwa seorang guru memiliki visi yang sangat mulia dan peran yang sangat utama yaitu mengajarkan kebaikan kepada manusia. Hal ini tergambar dalam sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam artinyaSesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan di lautan, benar-benar mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia (HR. At-Tirmizi).

Keistimewaan lainnya, Allah ta’ala menyebutkan tingginya kedudukan guru dan ilmu dengan menafikan persamaan kedudukan antara mereka dengan yang tidak berilmu. sebagaimana firman-Nya “Katakanlah, ‘tidak mungkin disamakan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu.” (QS. Az-Zumar: 9).

Tingginya posisi guru dan amal shalih atas ilmu yang diajarkannya membuatnya akan kebanjiran pahala akhirat dan berbagai kebaikan dunia. Allah dan Rasul-Nya menjanjikan banyak bonus akhirat sebagimana hadits – hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang artinya :

“Sesungguhnya orang yang memahami ilmu agama dan mengajarkannya kepada manusia akan selalu dimohonkan ampunan dosa-dosanya oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan” (HR. Abu Daud).

“Jika seorang insan meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga amal: sedekah yang mengalir, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang selalu mendoakan,” (HR. At-Tirmidzi).  

 “Siapa saja yang menempuh jalan kebaikan, maka dia mendapat pahalanya, sekaligus pahala orang yang turut mengikutinya, tanpa mengurangi pahala  mereka sedikit pun,” (HR. Ibnu Abi Syaibah).

“Demi Allah, jika Allah memberi petunjuk kepada satu orang berkat ajakanmu maka itu jauh lebih baik (bagimu) daripada kekayaan paling berharga,” (H.R. Bukhari dan Muslim). 

Sementara di dunia Al-Quran menjelaskan bagaimana seorang muslim memperlakukan guru, sebagaimana yang tergambar dalam kisah Musa bersama Khidir. Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” (QS. Al Kahfi: 66) ini adalah pertanyaan yang santun yang menunjukkan adab yang mulia kepada guru.

Ibnul Jauzi menjelaskan maknanya: Hendaknya engkau mengajariku ilmu agar menjadi petunjuk. Kisah ini adalah anjuran untuk melakukan safar menuntut ilmu, dan dibolehkan belajar kepada yang lebih rendah kedudukannya untuk mendapatkan kemuliaan. Serta kisah ini juga mengajarkan agar beradab dan tawadu’ terhadap sang guru.

Kisah kehidupan para sahabat adalah sebaik-baik contoh bagaimana seorang murid beradab dan memuliakan guru. Abu Said Al-khudri menceritakan: Saat kami sedang duduk di masjid, tiba-tiba datang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia duduk dihadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung, tak satupun dari kami yang berbicara (HR. Bukhari)

Perhatikanlah, sebuah gambaran adab yang sangat mulia dari murid kepada sang guru. Para murid duduk tenang saat gurunda telah hadir di majelis ilmu.

Umar bin Khattab berkata: “Tawadu’lah kalian terhadap orang yang telah mengajarkan kalian”. Karena sifat tawadu’, santun dan merendahkan diri kepada guru adalah kunci ilmu, sebagaimana dalam sebuah syair disebutkan: “ilmu tidak mungkin diperoleh oleh seseorang yang sombong sebagaimana air tidak akan mengalir ketempat yang lebih tinggi.

 

Khatimah

Seorang muslim akan senantiasa dalam kebaikan jika ia memegang aqidah dan syariat Islam. Beramal sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah, termasuk memposisikan seorang guru dan adab – adab berhubungan dengannya. Penghormatan seorang muslim pada gurunya tidak terbatas pada hari tertentu, namun sepanjang hayat. Bahkan kemulian guru tetap ada walau ia telah tiada. Wallahu a’lam bi ashowab.

Posting Komentar untuk "Penghormatan Pada Guru"