Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hikmah Syariat Allah Ta'ala

Seorang siswi kelas 1 MI di Banyuwangi ditemukan meninggal di tengah kebun di Desa Kalibaru Manis, Kecamatan Kalibaru. Anak berusia 7 tahun ini diduga merupakan korban penganiayaan dan pembunuhan. Polisi terus memburu pelaku, sementara keluarga meminta aparat kepolisian agar segera menangkap dan memberi hukuman berat pada pelaku. (https://www.kompas.tv/regional)

Kisah memilukan dari ujung Pulau Jawa ini menjadi salah satu cerita kasus kasus pembunuhan yang banyak diberitakan di media. Hampir tiap pekan ada berita pembunuhan, khususnya di portal – portal berita kriminal. Seakan nyawa manusia sangat murah, tak bernilai sehingga banyak pelaku melakukan perbuatan ini dengan ringan.

Padahal pembunuhan merupakan salah satu dosa besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allâh (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”. (QS. A –Isrâ’:33).

Rasûlullâh Shalallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda yang artinya,“Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi Lâ Ilâha illa Allâh dan bahwa aku adalah utusan Allâh, kecuali dengan satu dari tiga (perkara): (1) satu jiwa (halal dibunuh) dengan (sebab membunuh) jiwa yang lain, (2) orang yang sudah menikah yang berzina, (3) orang yang keluar dari agamanya (Islam) dan meninggalkan jama’ah (Muslimin)”. (HR Bukhari dan Muslim).

Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan bahwa dosa terbesar setelah kekafiran adalah membunuh. Larangan ini bersifat umum, baik larangan membunuh orang kafir maupun orang yang beriman tanpa haq.

Terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin, Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah:8).

Oleh karena itu, Islam melarang membunuh orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin, yaitu orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man. Barangsiapa membunuh orang kafir jenis ini, maka dia terkena ancaman keras yang datang dari Rasûlullâh Shalallahu Alaihi wa Sallam. Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya : “Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahad, (maka) ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya didapati dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR al-Bukhâri)

Membunuh non muslim dilarang, apalagi membunuh orang – orang yang beriman !

Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allâh murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An Nisâ`:93)

Begitu mulia nyawa seorang muslim hingga Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya penduduk langit dan penduduk bumi berkumpul membunuh seorang muslim, sungguh Allâh akan menjerumuskan mereka semua di atas wajah mereka di dalam neraka”

Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam mewanti-wanti agar umat Islam jangan sampai saling membunuh. Karena pembunuh dan yang terbunuh keduanya bakal masuk ke dalam neraka. Hal itu terdapat dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: 

"Bila dua pihak muslim bertemu (saling berbunuhan) dengan pedang mereka, maka yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka". 

Aku bertanya, "Ya Rasulullah Shalallhu Alaihi wa Sallam, si pembunuh masuk neraka adalah masuk akal, tetapi bagaimana dengan yang dibunuh?" 

Beliau Shalallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Yang dibunuh masuk neraka juga karena dia pun berkeinginan untuk membunuh lawannya."

 

Hukuman di Dunia

Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) Qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. Dalam Qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah 178-179)

Ayat ini menjelaskan hukum Qisas sebagai bagian dari hukum yang berlaku dalam Islam. Secara sederhana, Qisas dapat diartikan dengan hukuman setimpal atas pembunuhan atau pencideraan yang dilakukan kepada pelaku.

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan, ayat 178 menjelaskan adanya kesetaraan dalam pemberlakuan Qisas, baik dalam pembunuhan maupun dalam pencideraan. Namun bagi orang yang secara suka rela dimaafkan oleh saudaranya (pihak keluarga korban), maka hendaknya ia menunaikan kewajibannya dengan melakukan kebaikan dan membayar (diyat) secara suka rela.   

Ini merupakan keringanan dan rahmat yang diberikan oleh Allah kepada umat Islam. Sebab dahulu diyat tidak diperkenankan, hanya Qisas yang diberlakukan dalam syariat umat Yahudi. Sedangkan dalam umat Nasrani hanya ada diyat dan tidak ada Qisas, dan jika ingin memaafkan maka secara harus memaafkan secara mutlak. Umat Nabi Muhammad saw diberi keringanan dengan adanya pilihan ketiga hal tersebut: pemberlakuan Qisas, diyat dan memaafkan. Di akhir ayat Allah swt memberi ancaman kepada orang yang melewati batas bahwa baginya siksa yang pedih.

 

Adapun hikmah dari syariat qishash ini antara lain :

 

1.      Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan menumpahkan darah orang lain. Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya yang artinya : “Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,supaya kamu bertakwa.” ( QS. Al Baqarah : 179)

2.      Mewujudkan keadilan dan menolong yang terzhalimi dengan memberikan kemudahan bagi wali korban untuk membalas pelaku seperti yang dilakukannya kepada korban. Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al Isrâ‘:33)

3.      Sarana taubat dan pensucian dari dosa yang telah dilanggarnya, karena qishâsh menjadi kaffârah (penghapus) dosa pelakunya. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,”Kalian harus berbai’at kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri dan tidak berzina, tidak membunuh anak kalian, tidak melakukan kedustaan dan berbuat durhaka dalam hal yang ma`ruf. Barangsiapa di antara kalian menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah dan siapa yang melanggar sebagiannya lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu sebagai penghapus baginya dan siapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi; maka urusannya diserahkan kepada Allah. Bila Ia kehendaki maka mengadzabnya dan bila Ia menghendaki maka mengampuninya’.” [Muttafaq ‘alaihi].

 

Allah ta’ala menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung. Hikmah-hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya menjadi rahasia Allah. Dan para ulamapun merumuskan sebuah kaedah Haitsuma Yakunu As-Syar'u Takunu Al-Maslahah” yang artinya “dimana ada penerapan syari'ah maka disana akan ada maslahah/kebaikan”.

 

Wallahu a’lam bi ashowab.

Posting Komentar untuk "Hikmah Syariat Allah Ta'ala"