Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulama Pewaris Nabi

Rasululullah Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah teladan bagi kaum muslimin dalam segala urusan, baik urusan ritual maupun sosial, ibadah maupun mumalah, hablum min Allah maupun hablum min an naas. Beliau adalah teladan terbaik untuk segala urusan, meski Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam telah wafat 1.400 tahun yang lalu segala ajarannnya masih diikuti hari ini hingga akhir jaman. Hal ini berkat peran para ulama.

Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.”  (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud)

Para sahabat senantiasa bertanya pada Nabi untuk berbagai masalah kehidupan. Namun saat ini kita tidak mungkin untuk menanyakan perkara kehidupan ataupun ibadah kepada Nabi, tetapi kita masih bisa menanyakannya kepada para ulama, karena Nabi sendiri yang mengatakan bahwa ulama adalah pewaris Nabi yang Allah takdirkan memiliki pengetahuan lebih luas dari orang umum walaupun tidak juga setingkat dengan Nabi. Tetapi ulama patut menjadi rujukan untuk kita dalam menjalani kehidupan baik persoalan ibadah maupun persoalan kehidupan lainnya.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka jangan sampai kaum muslimin menjadi golongan orang-orang yang bodoh karena mengambil rujukan suatu perkara dari yang bukan ahlinya, terlebih lagi jika yang menjadi rujukan tidak memiliki keimanan kepada Allah dan Rasul. Hal ini berkaitan fenomena masa kini dimana sebutan ulama kerap diberikan secara serampangan. Berjubah dan bersorban disebut ulama, banyak follower digelari ulama, Sakti mandraguna dianggap ulama dan sebagainya.

Padahal Allah ta’ala telah menjelaskan tentang ulama pewaris nabi dalam firmanNya yang artinya: “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (QS Fathir: 32)

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menguraikan lebih lanjut bahwa melalui ayat ini Allah hendak memberikan penjelasan, Allah menjadikan orang-orang yang menegakkan dan mengamalkan Al-Quran yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab terdahulu yaitu dari orang-orang pilihan di antara hamba-hamba-Nya, yakni para ulama.

Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa maksud “Kami (Allah) telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami (Allah) pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an)”, adalah dengan cara mewariskan Al-Quran ini kepada para ulama dari umat Muhammad. Dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah telah memuliakan mereka atas seluruh manusia dan menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat Nabi yang terbaik dan penghulu anak keturunan Adam.”

Pada ayat lain Allah ta’ala berfirman yang artinya,”Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” (QS: Surat Fathir: 28).

Oleh sebab itu, banyak pengetahuan agama saja tidak cukup, tetapi mereka harus paling takut kepada Allah ta’ala. Sebagai “nuwwab” Nabi, maka tugas ulama tidak jauh beda dengan tugas Nabi. Yakni menyampaikan kebenaran dari Allah kepada manusia, mengajak manusia menjadi baik. Tugas tersebut terangkum dalam konsep “amar ma’ruf nahi munkar”.

Ulama adalah orang – orang yang berilmu, memiliki tsaqofah Islam yang luas, takut hanya pada Allah ta’ala serta melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Ulama seperti inilah yang layak diikuti, dirujuk dan dimuliakan. Sungguh menghormati dan memuliakan ulama sang pewaris nabi merupakan salah satu perintah dari Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam.

Beliau Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil dari kami dan tidak menghormati yang tua dari kami, tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak mencegah dari perbuatan munkar, serta tidak mengenal hak orang yang alim (ulama) dari kami.” (HR. Ahmad)

Pada suatu saat dikisahkan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu –padahal kedudukannya sudah tinggi- memegang tali tunggangan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata: ‘Seperti inilah kami disuruh melakukan terhadap para ulama dan pembesar kami. Sungguh membesarkan, menghormati dan menghargai ulama termasuk bagian dari sunnah.

Alkisah Khalifah Harun ar-Rasyid, merupakan orang yang cinta ilmu dan memuliakan para ulama. Ia memiliki dua putra yang mulazamah dengan seorang alim bernama Syeikh Ashma’i. Salah satu kehebatan dua putra kepala pemerintahan Islam ini adalah adab kepada gurunya.

Harun Ar-Rasyid memerintahkan kepada kedua putranya untuk khidmah kepada gurunya itu. Ia akan menghukum bila ketahuan anaknya teledor dalam melayani guru. Suatu hari, dua putra ini ribut.

Setelah didatangi, ternyata mereka berdua berebut menyiapkan sandal gurunya itu. Agar tidak bertengkar, maka Syaikh Ashma’i, sang guru, meminta kepada keduanya untuk membagi tugas menyiapkan sandalnya. Sandal kiri dan sandal kanan disiapkan oleh keduanya.

Kisah tersebut merupakan sepenggal tradisi dari orang-orang terdahulu dalam menghormati ilmu dan ahli ilmu. Suatu masa dimana ilmu jauh lebih berharga daripada uang dan orang mendapatkan kehormatan karena ilmu, bukan harta.

 

Khatimah

Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam telah wafat namun beliau memiliki pewaris, yakni para ulama yang a’lim, tawadlu, takut pada Allah serta mensyiarkan risalah Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam bentuk amal amar ma’ruf nahi munkar. Ulama adalah orang yang selayaknya dijadikan rujukan dalam urusan agama ini, pun dihormati dan dimuliakan.

Hendaknya ummat Islam berhati – hati terhadap “kampanye” merendahkan ulama, meremehkan para ulama atau hal – hal lain yang menjauhkan ulama dari ummat. Hendaknya masalah perbedaan pendapat, perbedaan golongan, perbedaan mazhab, ataupun perbedaan nasab tidak membuat ummat islam saling memaki dan merendahkan ulamanya. Perbedaan adalah bagian dinamika ummat, janganlah hal tersebut membuat ummat terpecah belah dan saling meremehkan ulama yang berbeda pendapat. Hendaknya ummat tetap hormat pada ulama yang a’lim dan hanif, meski berbeda pendapat.

Sungguh sikap meremehkan dan merendahkan orang – orang a’lim merupakan dampak dari ghazwul fikr (perang pemikiran), khususnya gerakan tasykik, yakni upaya untuk menciptakan keraguan dan pendangkalan kaum muslimin terhadap agamanya. Jika ulama sudah tidak dipercaya, kemana ummat akan bertanya tentang urusan agama ini?!.

Wallahu a’lam bi ashhowab

Posting Komentar untuk "Ulama Pewaris Nabi"