Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Meneladani Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam

Allah ta’ala berfirman Laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanatul limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā yang artinya Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab : 21)

Ayat ini begitu sering didengar dalam berbagai majelis khususnya pada bulan maulid ini. Para penceramah menggugah kesadaran ummat untuk senantiasa meneladani, mencontoh, serta mengikuti Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah.

Ummat Islam diserukan untuk mengikuti sunnah Rasul, yakni segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam

Pada ayat lain juga disebutkan, “Dan apa yang diberikan oleh Rasulullah maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Terjemah QS. Al-Hasyr ayat 7)

Disebutkan pula dalam Sahih Al-Bukhari dimana Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Seluruh umatku akan masuk surga kecuali mereka yang menolak. Sahabat bertanya: Siapa yang menolak, ya Rasulullah? beliau bersabda: Siapa pun yang menaatiku akan masuk surga, dan siapa pun yang tidak menaatiku, maka dialah yang menolak.”

Maka sudah menjadi mafhum bagi ummat Islam bahwa kaum muslimin wajib mengikuti Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallamw. Namun bagaimanakah faktanya meneladani Rasul yang sebenarnya ?

Jika diteliti, ternyata para ulama telah merinci perbuatan Rasulullah, mana yang harus diteladani, mana yang khusus bagi beliau dan mana yang termasuk perbuatan-perbuatan mubah. Setidaknya perbuatan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bisa dibagi menjadi tiga jenis, diantaranya: af’al jibiliyah, khashais dan af’al mujarradah

Al Af’al Al Jibiliyah adalah perbuataan yang dilakukan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam sebagai seorang manusia biasa. Seperti  : cara makan, bahan yang dimakan, tempat makan, piring tempat makanan, kapan, minum, tidur, cara berjalan, naik kendaraan, MCK.

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah : Khobab bin Mundzir yang mengusulkan agar Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam memindahkan Markaz ( Pusat Komando ) dalam perang Uhud yang beliau pilih, karena tidak strategis dalam ilmu peperangan menurut pandangan Khobab bin Mundzir. Pilihan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam terhadap Pusat Komando dalam perang Uhud bukan beerdasarkan wahyu, tetapi pendapat beliau belaka yang juga seorang manusia, sehingga dianggap kurang tepat oleh Khobab bin Mundzir yang mengetahui strategi perang.

Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa perbuatan Ibnu Umar ra, untuk napak tilas perjalanan haji Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam pada hal-hal yang bukan tasyri’iyah (yang tidak diperintahkan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam), tidaklah mendapatkan pahala, apalagi hal tersebut  tidak disetujui oleh mayoritas sahabat yang lain.

Walaupun demikian, beliau (Ibnu Umar) mendapatkan pahala karena niat dan semangatnya untuk mengikuti apa yang dikerjakan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, tetapi tidak mendapat pahala dari napak tilasnya tersebut.

Khosois adalah perbuatan yang khusus untuk Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dan tidak boleh dilakukan oleh umatnya, seperti puasa wishal (berturut-turut tanpa berbuka), menikah lebih dari empat, kewajiban untuk melakukan sholat tahajud, menikah dengan cara menerima perempuan yang menghibahkan dirinya kepada-nya, dan lain-lainnya.

Perbuatan-perbuatan seperti ini, tentunya kita tidak diperintahkan untuk mengikutinya sama sekali, bahkan hukumnya haram untuk diikuti, karena itu khusus untuk Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam saja.

Al Af’al Al Mujarradah yaitu  perbuatan Rasulullah yang tidak termasuk dalam katagori di atas, yang bertujuan untuk ditetapkan sebagai tasyri’ kepada umatnya. Perbuatan dalam bentuk ini, kita diperintahkan untuk mengikutinya, baik yang sifatnya sunnah maupun wajib.

Bagi kita, perbuatan-perbuatan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam ada yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) sesuatu yang masih mujmal (global) dalam Al-Qur’an, atau sebagai yang mengkhususkan (takhsish) keumumannya, atau sebagai yang membatasi (taqyid) kemutlakan-nya, maka itu adalah dalil.

Perbuatan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam yang berfungsi sebagai  penjelas sesuatu yang masih mujmal (global) dalam Al Qur’an, atau sebagai yang mengkhususkan ke-umuman-nya, atau sebagai yang membatasi kemutlakan-nya. Misalnya hadits yang artinya,Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Maka jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi Imam adalah yang paling tua di antara kalian." ( HR Bukhari : 595 )

Sebagaimana juga sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam :

"Ambillah haji dariku, sebab aku tidak tahu, barangkali aku tidak berhaji lagi sesudah hajiku ini." (HR Muslim no : 2286)

Lalu bagaimana cara membedakan antara af’al Jibilliyah dan Mujarradah yang belum diketahui sifatnya, karena keduanya hampir serupa ?

Pertama, bahwa Af’al Jibiliyah, para ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang mengerjakannya, maka dia tidak mendapatkan pahala, sedangkan Af’al Mujarradah para ulama masih berbeda pendapat, apakah orang yang mengamalkannya mendapatkan pahala atau tidak.

Af’al Jiblilliyah lebih kental dengan nuansa kemanusiaannya dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan syariat, sedangkan Af’al al Mujarrodah yang belum diketahu sifatnya, tidak terlalu kental sifat kemanusiaannya, bahkan kadang tercampur dengan sesuatu yang berhubungan dengan syari’at.

 

Khatimah

Menentang petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah kesesatan besar. Bayangkan jika seorang pasien tidak setuju dengan dokternya dalam meresepkan obatnya, orang akan menganggapnya sedang gangguan mental. Atau jika seseorang mengemudikan mobilnya dan tidak menaati rambu lalu lintas dan mengikuti jalan yang berbahaya, dia akan dituduh gila karena melawan arus. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak sependapat dengan Rasulullah ?! Padahal kepadanya wahyu diturunkan dan bukan kepada orang lain, bahkan beliau telah melihat surga dan neraka dalam perjalanan isra mi’raj !

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah teladan bagi manusia dalam segala hal, termasuk di medan perang. Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu dalam semua ucapan dan perilakunya, baik pada masa damai maupun perang. Namun, keteladan itu hanya berlaku bagi orang yang hanya mengharap rahmat Allah ta’ala, tidak berharap dunia, dan berharap hari kiamat sebagai hari pembalasan; dan berlaku pula bagi orang yang banyak mengingat Allah karena dengan begitu seseorang bisa kuat meneladani beliau.

Wallahu a’lam bi ashowab

Posting Komentar untuk "Meneladani Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam"