Hikmah Syariat Qurban
Kaum muslimin sebentar lagi akan meninggalkan Bulan Dzulqo’dah dan akan memasuki Bulan Dzulhijjah. Bulan keduabelas dalam Kalender Hijriah yang memiliki sejumlah amal – amal khas yang hanya dapat ditunaikan di bulan tersebut, salah satunya ibadah qurban.
Qurban atau
Udhiyah pada hari nahr (Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di
antaranya, firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dirikanlah shalat dan
berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran
ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya Idul Adha (yaumun
nahr)”.
Juga
hadits “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang
telah tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor
kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak
kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Hukum
Berqurban
Secara bahasa, qurban memiliki makna memotong atau menyembelih hewan pada
Hari Raya Idul Adha. Sedangkan dalam Quran Surat Al-Hajj ayat 34,
qurban dilakukan dengan menyembelih
hewan ternak tertentu seperti unta, sapi, kambing, kerbau, domba, dan lembu.
Ibadah qurban
diniatkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Imam Hanafi
berpendapat bahwa apabila seseorang yang mampu secara finansial, maka diwajibkan baginya untuk berqurban. Mampu
dalam ukuran, memiliki kekayaan minimal sebesar 200 dirham, atau kekayaan harta
yang dimiliki telah mencapai nisab zakat. Adapun nishab zakat maal adalah 20
dinar atau 85 gram emas. Jika seseorang telah memiliki harta senilai 85 gram
emas, maka berqurban wajib baginya.
Jika
seseorang yang telah memiliki harta yang berlebih, namun tidak berqurban , maka
orang tersebut telah berdosa karena meninggalkan ibadah wajib. Hal ini berdasar
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah yang berbunyi, “Dari Abu Hurairah, Nabi Shalallahu Alaihi
wa Sallam bersabda: Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban
, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.”
Hukum berqurban lainnya menurut Imam Hanafi, bagi seorang
musafir tidak dianjurkan untuk berqurban. Bagi anak yang belum baligh,
berqurban menjadi sunnah, namun
pembelian hewan diambil dari harta orangtua atau walinya.
Bagi Imam Maliki, hukum berqurban memiliki nilai sunnah muakkad, namun dapat berubah menjadi makruh bagi seseorang
yang mampu berqurban namun tidak melakukannya. Makruh adalah hukum yang
bernilai sebuah pelarangan, namun bisa dilakukan tidak mendapat konsekuensi
dosa. Bagi seorang mussafir, hukum berqurban
menjadi sunnah. Sedangkan bagi anak yang belum baligh, hukumnya sama
seperti Mazhan Hanafi, yaitu sunnah dengan mengambil harta dari walinya.
Imam Hambali
berpendapat jika seseorang bisa mengusahakan diri untuk membeli hewan qurban ,
walaupun dengan cara berutang, maka dia dianjurkan untuk berqurban. Hukum
berqurban wajib bagi seseorang yang
mampu melakukannya, namun menjadi sunnah bila seorang muslim tidak mampu
menunaikannya.
Jika seorang
muslim menjadi musafir, disunnahkan baginya untuk berqurban . Sedangkan bagi
anak-anak yang belum baligh, tidak disunnahkan.
Hukum berqurban
menurut
Imam Syafi’i, bernilai sunnah muakad.
Dalam Mazhab Syafi’i terdapat dua hukum cara untuk melaksanakannya qurban
.
Pertama hukum
Sunnah ‘Ain, yaitu sunnah
qurban yang dilakukan secara perorangan,
bagi orang yang memiliki kemampuan untuk berqurban. Kedua adalah hukum Sunnah Kifayah, yaitu apabila ada satu
keluarga, berapapun jumlahnya, jika salah satunya ada yang berqurban , maka
cukup untuk mewakili semua keluarganya. Hal ini sesuai dengan sabda rasulullah
yang diriwayatkan dalam hadits. Mikhnaf bin Sulaim berkata: “Ketika kami berkumpul bersama Nabi Shalallahu
Alaihi wa Sallam, aku mendengar beliau berkata: Wahai para sahabat, untuk
setiap satu keluarga setiap tahunnya dianjurkan untuk berqurban .” (HR.
Ahmad, Ibnu Majah dan Turmudzi).
Bagi seorang
musafir, menurut Imam Syafi’i bernilai sunnah. Boleh dilakukan. Hukum berqurban atas nama anak-anak yang belum baligh
hukumnya tidak disunnahkan.
Keutamaan Ibadah Qurban
1. Amalan
yang paling dicintai Allah Ta’ala di hari raya Idul Adha
Hadis yang
diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi
wa Sallam bersabda:
“Tidaklah anak
Adam melakukan suatu amalan pada hari nahar (idul adha) yang lebih dicintai
oleh Allah melebihi mengalirkan darah (hewan qurban ), Sesungguhnya ia datang
pada hari kiamat dengan tanduk, kulit dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darah itu
telah sampai kepada Allah Ta’ala sebelum darah itu tumpah ke tanah, maka
hendaknya kalian senang karenanya.” (HR At-Tirmidzi)
2. Media
untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala
Allah ta’ala
berfirman artinya,“Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban ) dari orang-orang yang
bertaqwa.” (QS. Al-Maidah: 27)
3. Media
untuk meraih ketaqwaan
Apa yang
ingin kita raih dalam ibadah qurban ini
bukanlah persembahan daging dan darahnya, melainkan untuk mendapatkan
ketakwaan. Allah swt berfirman artinya,“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya.” (Q.S. Al-Hajj: 37)
4. Media
untuk menambah amal kebaikan
Dari Zaid ibn
Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah qurban itu?”, Rasulullah
menjawab: “Qurban
adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.”, Mereka menjawab: “Apa keutamaan
yang kami akan peroleh dengan qurban itu?”, Rasulullah menjawab: “Setiap satu
helai rambutnya adalah satu kebaikan.”, Mereka menjawab: “Kalau
bulu-bulunya?”, Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu
kebaikan.” (HR. Ahmad dan ibn Majah)
5. Hewan
qurban sebagai Saksi di Hari Kiamat
Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam telah bersabda dalam sambungan hadis yang diriwayatkan Aisyah:
“Sesungguhnya
hewan qurban itu akan datang pada hari
kiamat (sebagai saksi) dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah
hewan qurban telah terletak di suatu
tempat di sisi Allah sebelum mengalir di tanah. Karena itu, bahagiakan dirimu
dengannya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim)
Menurut
Tirmidzi hadis tersebut hasan, sedangkan Hakim berpendapat bahwa isnadnya
shahih. Sebagian ulama mengatakan isnadnya lemah. Namun karena hadis tersebut
mengandung ajaran tentang keutamaan qurban, hadis tersebut tidak tercela.
6. Dimensi
sosial dan kemanusiaan
Ibadah
qurban tidak hanya bermanfaat untuk
orang yang berqurban (Mudhohi) tapi secara tidak langsung juga bisa membantu
fakir miskin dari kelaparan. Islam telah mengatur bagaimana menyeimbangkan
perekonomian dan aspek kemanusiaan sosial, salah satunya dengan berqurban
.
Daging yang
dibagikan dapat menghubungkan rasa kasih sayang dan kepedulian antara fakir
miskin dengan mudhohi. Dengan berqurban juga kita dapat merasakan kenikmatan
rezeki dan berkah yang senantiasa diberikan Allah kepada setiap hambanya.
Posting Komentar untuk "Hikmah Syariat Qurban"