AL HAMWU AL MAWT
Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya, “Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.’ Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?’ Beliau menjawab, ‘Ipar adalah maut (Al-Ḥamwu Al-Mawt).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat
Imam Muslim yang lain, ada redaksi penjelas dalam hadits berikutnya, bahwa kata
‘al-hamwu’ merujuk pada makna saudara pasangan, baik ipar atau sepupu, dan semisalnya.
Begitupun apabila kita merujuk pada kamus bahasa Arab modern, maka maknanya
adalah kerabat suami atau istri. Di Masyarakat
Arab, mereka sering menggunakan istilah ‘kematian’ untuk mensifatkan sesuatu
yang tidak baik. Itulah kenapa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam menyebut ipar sebagai kematian.
Rasulullah Shalallahu
Alaihi wa Sallam menyebut kakak ipar yang masuk ke dalam rumah istri adiknya
sebagai kematian disebabkan banyak orang yang tidak tahu bahwa kakak atau adik
ipar pasangan bukanlah mahramnya. Ketika seorang lawan jenis yang bukan mahram
saling bertemu, maka hukum-hukum fiqih seperti menutup aurat, tidak boleh
bersentuhan, dan lain sebagainya otomatis berlaku.
Dalam hal
ini, terkadang seseorang yang sudah berpasangan tidak terlalu menjaga
batasan-batasannya dengan adik atau kakak iparnya dalam hal bersentuhan kulit
ataupun menutup aurat karena telah dianggap sebagai bagian keluarga, padahal
mereka bukan mahramnya.
Imam Nawawi
rohimahulloh berkata: “Yang dimaksud dalam hadits ialah kerabat suami selain
ayah dan anak-anaknya, karena mereka (ayah dan anak-anaknya) adalah mahrom
istri. Mereka boleh berdua dan tidak dijuluki dengan istilah kematian. Tetapi,
yang dimaksud hanyalah saudara laki-laki, paman, anak paman, anak laki-laki
saudara perempuan, dan selain mereka yang dihalalkan wanita menikah dengannya
seandainya tidak bersuami. Biasanya kerabat suami dianggap remeh, dan ia lebih
pantas untuk dilarang daripada laki-laki asing.” (Fathul Baari, juz 9/243).
Salah satu kewajiban istri dalam menjaga rumah tangga adalah
menjaga “Nama Baik” suaminya. Baik menjaga diri dari pandangan orang lain dan
tidak mempersilahkan lelaki lain yang tidak memiliki hubungan mahrom tanpa izin
suami, atau tanpa urusan yang amat genting ketika suaminya sedang tidak ada
atau di luar rumah.
Terlebih laki-laki kerabat (yang bukan mahrom), baik dari
pihak istri atau suaminya yang memiliki gairah seperti ipar laki-laki. Sudah
barang tentu, tujuannya agar tidak ada gonjang-ganjing, fitnah, kecurigaan, dan
kecemburuan di antara keduanya yang bisa memantik api pertikaian dan bermuara
perceraian.
Disamping itu,
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam melarang untuk
berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram secara umum. Dan saudara ipar yang
lawan jenis, ia bukan mahram. Nabi Shalallahu Alaihi
wa Sallam bersabda yang
artinya, “Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan perempuan, kecuali
dengan ditemani mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Golongan Mahram
Mahram adalah orang
perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena
keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di
antara keduanya.
Mudahnya mahram adalah orang – orang yang haram dinikahi.
Salah satu cirinya adalah jika sudah berwudlu dan kemudian bersentuhan kulit
dengan golongan ini wudlunya tidak batal.
Yang termasuk mahram diantaranya :
1.
Mahram sebab Keturunan
Berdasarkan
QS. An Nisaa : 23 dapat diketahui bahwa orang-orang yang termasuk mahram, yaitu
yang tidak boleh dinikahi dengan sebab keturunan ada tujuh golongan, yaitu:
1. ibu-ibumu;
2. anak-anakmu yang perempuan;
3. saudara-saudaramu yang perempuan;
4. saudara-saudara ayahmu yang perempuan;
5. saudara-saudara ibumu yang perempuan;
6. anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
7. anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.
2. Mahram sebab Susuan
Mahram sebab susuan
ada tujuh golongan, sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian, yaitu
:
1.
ibu yang
menyusui,
2.
saudara
perempuan susuan,
3.
anak
perempuan saudara laki-laki susuan,
4.
anak
perempuan saudara perempuan susuan,
5.
bibi
susuan (saudarah susuan ayah),
6.
saudara
susuan ibu dan
7.
anak
perempuan susuan (yang menyusu pada istri)
3. Mahram sebab Perkawinan
1.
“Dan ibu-ibu istrimu
(mertua)” [QS. an-Nisa (4): 23]
2.
“Dan istri-istri anak
kandungmu (menantu)” [QS. an-Nisa (4): 23]
3.
“Dan anak-anak istrimu
(anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri” [QS.
an-Nisa (4): 23]
Menurut jumhur
ulama, termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan seseorang
mempunyai hubungan mahram dengannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah
dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya
setelah bercerai dengan ibunya.
Sedangkan ibu
dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab akad nikah,
walaupun si putri belum dicampuri, kalau sudah akad nikah maka si ibu haram
dinikahi oleh yang menikahi putrinya.
4.
“Dan janganlah kamu
kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)” [QS. an-Nisa
(4): 22]
Wanita yang
dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya akad nikah,
walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
Ada beberapa ketentuan
dalam agama Islam yang berkaitan dengan mahram, selain dari larangan menikahi.
Di antaranya batasan aurat perempuan bagi mahram abadi adalah seluruh badan
selain wajah, kepala, leher dan betis (di bawah lutut).
Sedangkan untuk
mahram mu’aqqat (tidak abadi) adalah seluruh badan
kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat laki-laki bagi mahram dan selain mahram
adalah antara pusar dan lutut.
Hal ini sesuai dengan
firman Allah ta’ala yang artinya: “Katakanlah olehmu (wahai
Muhammad) kepada para lelaki mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan
mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui pada apa-apa yang mereka
perbuat. Dan katakanlah kepada para wanita mukmin, hendaklah mereka menundukkan
pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan tidak menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang biasa tampak darinya …” [QS. an-Nur (24):
30-31]
Dan hadis Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam artinya: Rasulullah Shalallahu Alaihi
wa Sallam bersabda
kepada Asma’: “Wahai Asma’! sesungguhnya seorang perempuan yang sudah haid
tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini” dan dia mengisyaratkan kepada
wajah dan kedua telapak tangannya. [HR. Abu Dawud]
Khatimah
Sungguh Islam adalah
agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan sebaik
– baiknya. Termasuk sistem pergaulan antara pria dan wanita (Nidlomul Ijtima’) yang diatur secara
rinci. Sistem pergaulan dalam Islam menjadikan aspek ruhani sebagai asasnya dan
hukum syara’ sebagai tolak ukurnya.
Islam memandang
manusia, pria maupun wanita, sebagai manusia yang memiliki naluri, perasaan,
kecenderungan dan akal. Islam tidak melarang manusia untuk bersenang menikmati
hidup, termasuk dalam urusan biologis, namun tetap memelihara kemaslahatan
komunitas/masyarakat. Maka Allah ta’ala menurunkan aturan pergaulan pria dan
wanita dalam islam, diantaranya tentang mahram, sebagai pedoman manusia agar
mendapatkan ketenteraman dalam hidupnya.
Posting Komentar untuk "AL HAMWU AL MAWT"