IJAROH
Sungguh Islam adalah agama yang sempurna. Mengatur berbagai aspek kehidupan, baik hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan Tuhannya hingga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti cara makan, cara berpakaian dan sebagainya.
Allah
ta’ala berfirman yang artinya,” Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah
: 3)
Allah
ta’ala telah menyatakan Islam sebagai agama yang sempurna. Agama yang bisa
menjadi pedoman kehidupan bagi manusia dalam segala aspek kehidupan, baik baik hablum min an naas maupun hablum min Allah. Termasuk diantaranya
pengaturan Islam tentang ketenagakerjaan.
Islam
mengantur masalah “kepegawaian” adalah sebuah akad mumalah yang disebut dengan
“Ijaroh”. para ulama sedikit berbeda pendapat tentang
makna ijarah, namun secara umum dapat dipahami bahwa Ijarah secara
bahasa berarti upah.
Sedangkan menurut istilah Ijarah adalah transaksi atas sebuah
manfaat atau jasa yang dimaklumi dan memiliki nilai komersial serta legal
(halal) untuk diserahterimakan dengan adanya upah yang jelas.
Dasar Hukum akad ijarah diantaranya :
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik. Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Al-Thalaq (65): 6)
Hadis qudsi yang artinya :
“Allah Ta’ala berfirman (dalam hadis qudsi): ‘Ada tiga orang
yang Akulah musuh mereka di hari kiamat: 1) Orang yang memberikan (sumpahnya)
demi nama-Ku lalu berkhianat; 2) Orang yang menjual orang merdeka lalu memakan
uangnya (hasil penjualannya); dan 3) Orang yang menyewa (jasa) buruh, ia sudah
memanfaatkannya namun tidak membayar upahnya.’” (HR. Bukhari)
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Bayarlah upah pekerja itu
sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
Akad ijarah
memliki empat rukun yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Muta’aqidain; dua
orang yang bertransaksi. Dalam hal ini adalah mu’jir/ajir (penyedia
jasa/pekerja) dan musta’jir (penyewa/pemberi kerja).
Syarat dari keduanya adalah orang yang legal tasharufnya (tidak dalam
pengampuan), dalam artian sudah berakal.
2. Sighah; ijab dan
qabul. Syarat-syaratnya antara lain: adanya kesesuaian antara ijab dan qabul;
tidak adanya jarak waktu yang lama antara keduanya; dan tidak diantungkan (di-ta’liq).
3. Manfa’ah; jasa atau
manfaat benda yang disewakan. Syaratnya antara lain: bernilai komersial; mampu
menyerahkannya kepada musta’jir agar nilai manfaatnya dapat
digunakan; dapat dirasakan oleh musta’jir; dalam pemanfaatan
barang; dan diketahui secara jelas dan rinci oleh muta’aqidain.
4. Ujrah; ongkos atau
upah. Hakikatnya, upah yang dimaksud adalah tsaman (uang/harga)
manfaat yang dimiliki melalui akad ijarah, sehingga syaratnya sama halnya
dengan syarat tsaman dalam jual beli, antara lain: suci;
memiliki nilai manfaat; dapat diserahterimakan; diketahui oleh kedua belah
pihak.
Ijaroh
dalam Islam meliputi tiga jenis, yakni
1.
Manfaat
yang diterima seseorang dari benda (Manafi’ul
a’yan), misalnya sewa rumah, rental mobil dan semacamnya
2.
Manfaat
yang didapat sesorang atas hasil kerja / amal orang lain (Manfa’atul Amal), seperti jasa arsitek, tukang kayu, dokter dan
sebagainya.
3.
Manfaat
yang di dapat seseorang atas diri pribadi atau seseorang (Manfa’atul Syakhs), seperti Satpam, pembantu rumah tangga, baby
sitter dan sejenisnya.
Kontrak
kerja antara pemberi kerja dan pekerja harus dilakukan keridloan kedua pihak dan
harus menjelaskan akad diantara mereka, khususnya tentang bentuk kerja, waktu
kerja (durasi dan lama kontrak), keterampilan / tenaga yang dibutuhkan serta
upah kerja yang harus disepakati bersama.
Setiap
pekerjaan yang halal maka hukum kontrak kerja atas pekerjaan tersebut juga
halal. Maka kontrak kerja bisa dilakukan di berbagai bidang, seperti
perdagangan, pertanian, industri, pelayanan (jasa), dan sebagainya. Kontrak atas suatu pekerjaan terkadang bisa
dilakukan atas jenis pekerjaan tertentu, seperti mengontrak tukang gali sumur,
atau pekerjaan yang didiskripsikan dalam suatu perjanjian, misalnya menyewa
arsitek untuk membangun rumah dengan bentuk tertentu.
Transaksi
kontrak kerja dalam Islam sangat memperhatikan akad waktu kerja. Hal ini
dikarenakan ada akad kerja yang bergantung dengan waktu dan adapula yang tidak.
Pekerjaan menjahit atau mengemudikan mobil ke suatu tempat tidak wajib
disebutkan waktunya. Namun adapula pekerjaan yang harus disebutkan waktu
kerjanya, misalnya kontrak kerja di perusahaan atau pabrik, maka harus jelas
lama kontrak dan durasi waktu kerjanya.
Jika
ada pekerjaan harus disebutkan waktunya namun tidak terpenuhi maka pekerjaan
tersebut menjadi tidak jelas dan tidak sah. Jika durasi kontrak telah
disepakati bersama dalam waktu tertentu, maka tidak boleh salah satu pihak
membubarkannya kecuali jika waktu kontrak telah habis.
Pada
tiap transaksi kerja disyaratkan upah yang jelas dengan bukti dan ciri yang
bisa menghilangkan ketidakjelasan. Dalam
hal ini Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga)
seorang ajir, maka hendaknya dia memberitahukan tentang upahnya.” (HR.
Ad-Daruquthni dari Ibnu Ma’ud)
Kompensasi yang berupa upah boleh diberikan secara tunai,
boleh juga tidak. Honor tersebut bisa juga dalam bentuk harta (uang) ataupun
jasa sebab apapun yang dapat dinilai dengan harga maka boleh juga dijadikan
kompensasi, baik berupa materi ataupun jasa dengan syarat harus jelas. Jika
tidak jelas maka transaksi tersebut tidak sah. Gaji harus jelas sehingga
menafikan kekaburan. Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Bayarlah upah pekerja itu
sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
Upah diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
(1) Upah yang telah disebutkan (ajrun mutsama), syaratnya
ketika disebutkan harus disertai kerelaan kedua pihak yang bertransaksi;
(2) Upah yang sepadan (ajrul mitsli),
yaitu upah yang sepadan dengan kerjanya serta sepadan dengan kondisi
pekerjaannya jika akad ijarahnya telah menyebutkan jasa (manfaat) kerjanya.
Yang menentukannya adalah para ahli (khubara’), bukan
standar yang ditetapkan negara, juga bukan berdasarkan kebiasaan penduduk suatu
negara.
Saat menentukan upah mitsli,
harus diperhatikan tiga hal:
(1) Bila perupahan mendatangkan manfaat, harus dilihat sesuatu yang
manfaatnya menyamai manfaat yang dihasilkan itu.
(2) Bila perupahan mendatangkan kerja, harus dilihat orang yang sepadan
dengan buruh untuk pekerjaan itu.
(3) Dilihat waktu perupahan dan tempatnya, sebab upah itu berbeda-beda karena
perbedaan manfaat, kerja, waktu dan tempat.
Islam memperbolehkan bermuamalah dengan non Islam (nonis) berdasarkan
perbuatan Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam serta ijma sahabat. Rasul Shalallahu
Alaihi wa Sallam pernah mengontark
seorang non muslim (yahudi) sebagai seorang penulis dan non muslim lain sebagai penterjemah. Abu Bakar
dan Umar juga mengontrak seorang nasrani untuk menghitung harta kekayaan.
Di sisi lain, seorang Muslim juga boleh bekerja pada non muslim selama
bukan untuk akad pekerjaan yang haram. Sebagaimana Ali Radhiyallahu anhu pernah
bekerja pada non muslim untuk menyirami kebunnya dengan upah setiap satu timba
dengan sebutir kurma.
Posting Komentar untuk "IJAROH"