Melestarikan Silaturahim
Hari Raya Idul Fitri 1445 H telah hadir sepekan yang lalu. Kaum muslimin merayakannya dengan suka cita, tidak terkecuali muslim di negeri ini. Bahkan ada beberapa aktivitas unik nan khas yang dilakukan oleh muslim Indonesia selama idul fitri, diantaranya halal bi halal dan mudik ke kampung halaman.
Mudik atau kembali ke udik (kampung dan desa) merupakan momen
yang selalu dinantikan masyarakat. Walaupun butuh tenaga ekstra dan biaya yang
tidak sedikit tapi masyarakat ingin kembali ke tempat asalnya selama liburan
lebaran Idul Fitri.
Pada Idul Fitri 2024 ini, diperkirakan jumlah pemudik
mencapai 193,6 juta orang. Hal ini berarti juga bahwa 71,7 persen dari jumlah
penduduk Indonesia melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lain, dari
satu kota ke kota lain yang tujuan akhirnya ialah kampung halaman mereka. Di
kampung halaman itulah para pemudik berkunjung dan bertemu dengan sanak kerabat
dan handai taulan dalam rangka bersilaturahim.
Kata “silaturahim” atau “silaturahmi” berasal dari dari dua
kata; shilat dan al-rahim atau al-rahmi. “Shilat” berarti
sambungan atau menyambung atau menjalin atau menghubungkan. Sementara al-rahim atau al-rahmi satu
akar kata yang sama yaitu rahima – yarhamu. Dari kata rahima – yarhamu bisa
menghasilkan dua bentuk masdar (kata infinitif) yang berbeda dan mempunyai arti
yang berbeda pula; 1) kasih sayang; dan 2) rasa sakit pada rahim wanita setelah
melahirkan.
Jika merujuk dalam banyak hadis, antara “rahim” dan “rahmi”, Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam lebih banyak menggunakan pandanan “rahim”. Mengutip
pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah, meski secara makna literal Arab kata
“silaturahim” yang lebih tepat, Majelis Tarjih berpendapat bahwa jika kata
“silaturahmi” telah menjadi bahasa Indonesia, maka tidak mengapa menuliskan
atau mengucapkannya sesuai dengan yang mudah bagi lisan kita. Bahasa itu
berkembang dan senantiasa mengalami modifikasi, apalagi ketika
ditransliterasikan (disalin) atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Aktivitas silaturahim adalah bagian dari hukum syara karena
hal ini diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam,
sebagaimana tersebut dalam beberapa nash berikut :
Allah ta’ala berfirman yang artinya,”
Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu
selalu berpaling.” (QS. Al Baqarah :
83)
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, menjelaskan ayat ini, bahwa
“Wahai Rasul, ingatlah isi perjanjian yang diucapkan oleh Bani Israil: bahwa
mereka tidak akan menyembah selain Allah, berbakti kepada orang tua baik dengan
interaksi yang baik, tawadhu’, dan melaksanakan perintah mereka. Kemudian
berbuat baik kepada tetangga, menyambung
silaturrahim serta memenuhi hak-hak mereka. Kemudian berbuat baik kepada
anak-anak yatim-piatu yang telah kehilangan orang tua mereka sejak kecil, juga
kepada para fakir miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Interaksi
dengan sesama dengan interaksi yang baik dan terpuji. Melaksanakan sholat tepat
pada waktunya serta menunaikan zakat. Namun, pada kenyataanya kalian
mengingkari perjanjian ini, hanya sedikit yang menepatinya, sepearti Abdullah
ibn Salam dan para sahabatnya. Adapun kalian ingkar terhadap perjanjian ini
dengan penuh pengingkaran
Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, diriwayatkan dari Nabi Shalalllahu
Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada
Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya. Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menyambung kekerabatannya. Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbicara yang baik atau
hendaklah ia diam”.” (HR. Bukhari).
Ada sejumlah keutamaan bagi muslim yang menjalankan
silaturahim, diantaranya :
Mendekatkan Diri
Kepada Allah ta’ala.
Menyambung tali silaturahmi merupakan salah satu bentuk kecintaan dan
ketakwaan seorang hamba. Hal tersebut dibuktikan dengan sabda Rasulullah: “Allah
‘azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar-Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku
mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga
hak-Nya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus darinya.” (HR
Ahmad).
Silaturahmi sebagai tanda keimanan juga diungkapkan melalui
sabda Rasulullah: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi.” (HR
Bukhari)
Memperluas
Rezeki Seseorang
Silaturahmi
mempermudah kita untuk membantu kerabat atau anggota keluarga jika suatu saat
ada salah satu dari mereka yang membutuhkan bantuan. Membantu keluarga yang
sedang kesulitan dapat kita anggap sebagai sedekah.
Allah ta’ala
pun menjanjikan kemudahan dan pahala bagi siapa saja yang mampu memperpanjang
tali silaturahmi dan memudahkan urusan saudaranya. Janji Allah tersebut
tertuang dalam sabda Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan
Abu Hurairah: “Siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan
umurnya hendaklah dia menyambung tali silaturahmi.” (HR
Bukhari dan Muslim).
Selain itu,
setiap muslim yang membantu urusan keluarganya tidak hanya mendapatkan pahala
sedekah, namun Allah pun akan melimpahkan pahala silaturahmi kepadanya. Bahkan,
bersedekah kepada anggota keluarga lebih diutamakan dibanding bersedekah untuk
fakir miskin, sebagaimana diungkapkan dalam sabda Rasulullah: “Sedekah
terhadap orang miskin adalah sedekah dan terhadap keluarga sendiri mendapat dua
pahala: sedekah dan silaturahmi.” (HR Tirmidzi)
Menjadi
Kunci Masuk Surga
Allah ta’ala
menjanjikan pahala dan keberkahan bagi setiap hamba-Nya yang senantiasa menjaga
tali silaturahmi. Janji Allah tersebut salah satunya adalah mendekatkan surga
kepada hamba-Nya yang mampu menjaga silaturahmi dengan sesamanya, sebagaimana
tertuang dalam hadis berikut:
“Engkau
menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan salat,
menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Sebaliknya
muslim yang memutuskan tali silaturahim akan mendapat “sanksi” syara,
sebagaimana sabda Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam Diriwayatkan
dari Anas, diriwayatkan dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
“Sesungguhnya rahim (kekerabatan) itu adalah cabang kuat di ‘Arsy berdoa dengan
lisan yang tajam: “Ya Allah sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah
orang yang memutusku”. Maka Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku adalah
ar-Rahman ar-Rahim. Sungguh Aku pecahkan dari namaKu untuk rahim (kekerabatan),
maka barangsiapa menyambungnya niscaya Aku menyambung orang itu, dan
barangsiapa memutuskannya pasti Aku memutuskan orang itu”.” (HR al-Haitsami)
Amal
silaturahim juga tidak hanya sekedar saling kunjung dan memberi “THR” pada
sanak kerabat pada hari raya idul fitri, namun dapat dilaksanakan dalam banyak
rupa, misalnya saling mendoakan keluarga besar dan kaum muslimin, saling
memberi hadiah untuk menyambung kasih sayang, saling tolong menolong (ta’awwun)
dengan kerabat yang sedang kesusahan, atau mendahului meminta maaf untuk menghindari
perselisihan, dan sebagainya.
Maka sungguh
mulia syariat silaturahim ini. Sebuah perbuatan yang tidak hanya dilaksanakan
di hari hari raya idul fitri saja, namun juga harus dilaksanakan sepanjang
tahun dan sepanjang masa.
Posting Komentar untuk "Melestarikan Silaturahim"