BAHAYA RIBA
RIBA adalah sebuah
fenomena yang telah mendunia. Praktek riba sudah dikenal sejak munculnya
transaksi perdagangan dalam peradaban manusia ribuan tahun yang silam. Dalam
masyarakat Yunani kuno kata riba dikenal dengan istilah "rokos" yang
artinya keturunan makhluq organik (maksudnya bisa melahirkan mata uang baru ).
Demikian pula persoalan riba sempat disinggung dalam kitab Taurat maupun Injil.
Dan Al Qur'an dengan jelas memaparkan pandangannya mengenai riba.
Kedudukan persoalan ini
yang mendapatkan perhatian penting setiap peradaban dan agama samawi mempunyai
arti bahwa riba telah menjadi borok peradaban manusia yang menggerogoti
tubuhnya secara perlahan-lahan, yang mampu menghancurkan sendi-sendi peradaban,
dan diperlukan tindakan preventif untuk menanggulangi bahkan untuk menghancur-kan penyakit ini secara keseluruhan. Hal inilah yang
menjadikan riba mendapat perhatian penting dalam setiap kurun dan peradaban
manusia.
Namun masih banyak
orang yang tidak mengetahui apa hakikat riba dan bagaimana Islam membasmi
praktek-praktek riba dan yang sejenisnya dari akar-akarnya. Bagaimana kerasnya
siksa yang ditimpakan Allah SWT kepada pelaku riba di akhirat kelak serta
kehinaan yang mereka terima di dunia. Tidak ada masalah jahili¬yah yang dinilai
Islam begitu keji dan keharusan yang sangat untuk memberantasnya melebihi
masalah riba ini. Dan tidak ada kemungkaran selain syirik yang begitu besar
ancamannya melebihi kemungkaran riba.
Definisi Riba
Riba menurut bahasa
berarti tambahan.
Sedangkan menurut syara', riba
adalah tambahan yang diperoleh dari seseorang yang meminjam (barang atau uang)
dengan tempo atau batas waktu. Menurut Ali bin Muhammad ad-Durjani,
riba adalah tambahan yang tidak
menjadi imbalan bagi sesuatu yang disyaratkan bagi salah seorang yang meminjam
dan yang mem¬beri pinjaman. Riba menurut istilah tadi barangkali terlalu
sempit. Istilah yang lebih baik dikemukakan oleh Syaikh 'Abdurrahman Taj,
yaitu setiap tambahan pada salah
satu pihak (dalam) aqad Mu'awwadhoh tanpa mendapat imbalan, atau tambahan itu
diperoleh karena penangguhan.
Riba terdiri dari dua
macam: riba nasiah dan riba fadhal.
Akan tetapi menurut para ulama
pengikut Syafi'i, riba terdiri atas tiga macam: riba fadhal yang di dalamnya
termasuk riba qardh, riba nasiah, dan riba yad.
Berdasarkan hal itu
maka kita mengenal berbagai bentuk riba yang tercakup dalam empat kategori:
1. Riba Nasiah: memberi hutang kepada orang lain dengan tempo yang jika
terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/ nilainya sebagai tambahan atau sanksi.
2. Riba Fadhal: menukarkan barang yang sejenis tetapi tidak sama
keadaannya atau menukar barang yang sejenis tetapi berbeda nilanya.
3. Riba Qardh: meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada
kelebihan/ keuntungan bagi pihak pemberi utang.
4. Riba Yadd: pihak peminjam dan yang meminjamkan uang/
barang telah berpisah dari tempat
aqad sebelum diadakan timbang terima. Dalam keadaan demikian khawatir terjadi
penyimpangan.
Riba Nasiah lebih
terkenal dengan sebutan riba jahiliyyah, dimana seseorang memberi pinjaman
kepada orang lain dan setiap bulan diambilnya tambahan trertentu jika melewati
batas/temponya. Mengenai istilah riba jahiliyyah disinggung pada khutbah
Rasulullah SAW pada saat Hijjatul Wada :
"... dan sesungguhnya riba jahiliyyah itu
dihapuskan, dan bahwasannya riba yang pertama kali kuhapuskan adalah riba
pamanku Abbas bin 'Abdul Muthallib..."
Adapun hadits yang
menyinggung riba fadhal diriwayatkan dari Abu Sa'id bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda :
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, garam dengan garam, sama-sama dari tangan ke tangan. Barang siapa yang
menambahkan atau meminta tambahan sungguh ia telah berbuat riba". (HR.
Bukhari dan Ahmad).
Tentang riba qardl,
maka kita mengenal kaedah fiqih yang berkaitan dengan masalah ini.
"Setiap bentuk qardl (pinjaman) yang menarik manfaat
(membuahkan bunga) adalah riba."
Ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan uang dibalik pinjaman termasuk riba yang dilarang oleh syari'at
Islam.
Mengenai riba yadd
telah diriwayatkan bahwasannya Malik bin Aus bin Hadtsan mencari-cari orang
yang dapat menukar uangnya 100 dinar, lalu datang Thalhah. Thalhah menjelaskan
ciri-ciri barangnya, sampai kemudian Malik mau menerimanya. Tatkala Thalhah
mengambil uangnya (penukar 100 dinar) ia berkata: 'Tunggu sampai orang yang
membawa uangku (bendahara) di al-Ghaba (nama tempat dekat Madinah). Peristiwa
ini kemudian didengar oleh Umar seraya berkata: 'Tidak, demi Allah janganlah
meninggalkannya sampai ia mengambil pembayarannya. 'Rasulullah saw telah bersabda: "Emas
dengan perak adalah riba kecuali langsung serah terima, gandum dengan gandum
adalah riba kecuali langsung serah terima, kurma dengan kurma adalah riba
kecuali langsung serah terima, sya'ir dengan sya'ir adalah riba kecuali
langsung serah terima."
Peristiwa diatas
menunjukkan bahwa pertukaran suatu barang dengan barang lainnya harus dilakukan
saat itu juga. Pengunduran waktu serah terima dari salah satu pihak dapat
menyebabkan adanya riba.
Berdasarkan pengertian
beberapa macam istilah riba ini, maka dalam praktek perekonomian dewasa ini
banyak sekali yang bisa dimasukkan dalam salah satu kategori tadi sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan aktifitas ekonomi, perdagangan dan keuangan yang
meningkat dengan pesat. Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda:
“Riba itu mempunyai
73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling ringan (dari macam-macam riba tersebut)
adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinahi) ibu kandungnya sendiri...”
(HR. Ibnu Majah, hadits No. 2275; dan Al Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu
Mas’ud, dengan sanad yang shahih).
Dalam hadits lain Rasulullah
mengisyarat-kan akan munculnya sekelompok manusia yang menghalalkan riba dengan dalih
aspek perdagangan.
"Akan datang suatu saat nanti kepada umat ini
tatkala orang-orang menghalalkan riba dengan dalih 'perdagangan'."(HR Ibnu
Bathah dari al-Auza'i
Ringkasnya,
dengan melihat perkemba-ngan perekonomian yang tumbuh dengan cepat maka definisi
mengenai riba harus mencakup seluruh bentuk riba, baik yang ada di masa
Jahiliah (seperti riba nasi'ah, riba fadhal, riba qardl dan riba yadd) maupun riba yang ada dimasa sekarang
seperti riba bank termasuk didalamnya bunga dalam pinjaman/kredit, investasi, deposito, jual beli surat berharga, agio saham,
penundaan dari salah satu pihak yang beraqad dalam pertukaran mata uang maupun
pengalihan rekening antar bank dan sebagainya. Jadi riba adalah tambahan dalam
aqad dari salah satu pihak, baik dari segi uang, materi/barang, waktu maupun
persyaratan lainnya tanpa ada usaha apapun dari pihak yang menerima tambahan
tersebut.
Hukum Riba
Al Qur'an telah
menyinggung masalah riba dalam beberapa ayatnya. Dan sebagaimana diketahui
bahwa pengharaman riba saat itu didahului beberapa ayat yang menunjukkan
kekejian riba dan ancaman yang telah menimpa orang-orang Yahudi dahulu karena
mereka sering mengambil riba dalam dagang dan utang-piutang, kemudian
diturunkan satu ayat yang mengharamkan riba yang berlipat ganda saja, ...
sampai ayat yang terakhir yang mengharamkan segala jenis dan bentuk riba, besar
maupun kecil.
Ayat pertama yang
diturunkan tentang riba adalah firman Allah SWT :
"Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan untuk menambah harta manusia, maka yang demikian itu tidak (berarti) bisa menambah di sisi Allah ..." (QS. Ar Ruum :39).
Ayat ini diturunkan di
Mekkah tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai haramnya riba. Yang
ada hanyalah isyarat kebencian Allah SWT terhadap riba sekaligus peringatan
supaya berhenti dari aktivitas riba.
Sedangkan ayat yang
kedua adalah firman Allah SWT tentang tindakan Bani Israil yang menyebabkan
kemurkaan Allah SWT. Bunyi ayat tersebut sebagai berikut :
"Maka lantaran kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, Kami haramkan atas mereka beberapa jenis makanan*) yang baik-baik yang sedianya dihalalkan kepada mereka. Dan lantaran perbuatan mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah yang banyak sekali itu serta mereka yang mengambil riba, padahal mereka telah dilarangnya" (QS. An Nisa : 160-161).
Ayat ini turun di
Madinah kira-kira sebelum perang Qurayzah yang terjadi pada tahun ke V atau sebelum
perang Bani An Nadlir pada tahun ke IV H. Ayat ini memberikan kepada kita kisah pelajaran tentang
tingkah laku Yahudi yang melanggar larangan Allah dengan melakukan praktek
- praktek riba. Maka merekapun mendapatkan laknat dari
Allah SWT. Ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan riba, sebab
kaitannya dengan syari'at Bani Israil dan hanya menunjukkan bagaimana perilaku
orang-orang Yahudi yang dilaknat Allah SWT. *) Makanan-makanan yang diharamkan
tercantum dalam QS. Al An'am:146
Adapun ayat yang ketiga
adalah firman Allah SWT :
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan riba dengan berlipat ganda..." (QS. Ali 'Imran: 130).
Ayat ini diturunkan di
Madinah dan mengandung larangan yang tegas yang mengharamkan salah satu jenis
riba (Riba Nasiah). Berarti larangannya masih bersifat sebagian, belum
menyeluruh. Pengharaman riba pada ayat ini hanya berlaku bagi praktek-praktek
riba yang keji dan jahat, yang membungakan uang berlipat-lipat.
Ayat yang terakhir diturunkannya mengenai riba adalah ayat :
"Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman." (QS. Al Baqarah : 278).
Dengan turunnya ayat ini maka riba telah diharamkan secara menyeluruh,
tidak lagi membedakan banyak maupun sedikit. Ayat ini dan tiga ayat berikutnya sekaligus merupakan ayat tentang hukum
yang terakhir dan pemutus hubungan antara bumi dan langit.
Bagi kaum muslimin saat
ini, yang hidup setelah Rasulullah SAW meninggalkan kita, maka hukum yang
berlaku adalah hukum pada ayat yang terakhir, yang telah menasakh hukum pada
ayat-ayat sebelumnya. Ayat di atas tadi menjelaskan bahwasanya riba diharamkan
dalam segala bentuknya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin mengenai
keharamannya sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan Kitab Allah, Sunnah
RasulNya, dan Ijma' kaum muslimin termasuk madzhab yang empat. Dalam hal
diharamkannya riba tidak ada perbedaan antara laki-laki, perempuan, budak,
maupun mukatib, semuanya sama. Hal ini telah dimaklumi oleh kaum muslimin sejak
kurun yang pertama, dan mereka memasukkan riba ke dalam dosa/kemaksiatan yang
besar, yang pelakunya akan mendapatkan adzab yang tak terpeikan pedihnya di
akhirat.
Memang pada akhir-akhir
ini muncul segolongan di antara kaum muslimin yang membolehkan praktek-praktek
riba, khususnya tentang bunga bank (intereast)
yang telah membudaya dalam masyarakat. Mereka membolehkan dengan alasan darurat,
dan mengungkapkan bahwa pada saat ini ummat tidak akan dapat melakukan
aktivitas ekonomi tanpa taerkait dengan bunga atau bank. Jadi tidak ada jalan
lain keacuali meamboleahkannya.
Alasan seperti ini
tampaknya alasan klise untuk menjustifikasi apa yang telah mereka lakukan. Lagi
pula terminologi darurat dalam syariat Islam adalah seperti yang dikemukakan
oleh Imam Suyuthi :
"Sampainya
seseorang pada batas suatu keadaan yang jika orang tersebut tidak melakukan
hal-hal yang dilarang maka ia akan binasa (rusak atau mati-pen) atau
mendekatinya".
Maka muncul pertanyaan
apakah keadaan saat ini sudah sampai kepada situasi dan kondisi seperti itu?
Kalau misalnya hal ini bisa diterima maka tentu saja yang namanya darurat itu
ada batas dan masanya, tidak akan berlaku selamanya. Berarati bila ada
seseorang menderita kelaparan yang tidak mendapatkan jalan lain kecuali dengan
meminjam uang dari bank, dengan ketentuan riba, maka ia dibolehkan membayar
uang bunga tersebut sampai penderitaannya berlalu. Akan tetapi dasar tersebut
tidak bisa diterima untuk kebutuhan sekunder selain dari makanan dan minuman.
Berdasarkan alasan tadi maka dalih yang dibuat oleh segolongan umat yang
maenghalalkan praktek riba tidak bisa diterima.
Sebagian kaum musllimin
yang imannya lemah berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang
keji, yang menarik bunga sangat tinggi dan dapat mencekik leher manusia.
Adapaun riba yang sedikit tidaklah haram dengan alasan QS. Ali Imran (3) :130
di atas.
Dalam al-qur'an lafadz 'adl 'afan mudloafah '(berlipat ganda) berfungsi sebagai 'waqi'atul 'ain, yaitu suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di masa jahiliah dan menunjukkan betapa kejahatan yang mereka lakukan. Dan bagi mereka yang masih awwam tentang agama dan tidak mau mengerti mengenai hukum Islam, apakah mereka tidak beriman kepada seluruh ayat Al-Qur'an, apakah mereka kufur terhadap sebagian ayat dan beriman terhadap sebagian yang lain? Mengapa justru ayat itu yang dipakai sebagai alasan bukan ayat QS. Al-Baqarah: 275 dan 278, yang telah menghapus hukum yang sebelumnya.
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba" (QS. Al Baqarah: 275)
".......takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba....."
(QS. Al-Baqarah
:278)
Yang
lebih parah adalah munculnya
segolongan diantara kaum muslimin yang mengatakan riba untuk tujuan produktif
adalah boleh, dengan alasan riba yang dilarang sebagaimana dimasa jahiliah
adalah untuk keperluan konsumtif.
Alasan seperti ini terlalu dibuat-buat, mencerminkan sifat-sifat orang
munafik dan orang-orang yahudi yang senantiasa mencari-cari alasan untuk
membenarkan tindakan mereka. Lafadz Riba ( ) bermakna umum, Huruf alif dan lam didepan menunjukkan sifat lil jins atau lil istighraq yang
melukiskan keumumannya.
Berdasarkan pengertian
ini maka lafadz riba berarti mencakup baik yang konsumtif maupun yang
produktif, keduanya termasuk riba yang diharamkan. Untuk mengeluarkan atau
mengecualikan hukum-hukum dari lafadz yang bersifat umum diperlukan dalil-dalil
yang lain yang mentakhsiskan keumuman ini. Dalam masalah riba tidak ada satu
nashpun yang mentakhsiskan hukum dari ayat-ayat tentang riba, sehingga hukum riba berlaku
sesuai dengan keumuman lafadznya.
Ancaman Terhadap Pelaku Riba
Ancaman dari
al-Qur'an.
1.
"Orang-orang yang memakan harta riba itu tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syethan, lanta¬ran
(tekanan) penyakit gila...." (QS. al-Baqarah :275).
Orang yang melakukan
praktek-praktek riba, kelak dihari kiamat perilakunya bagaikan orang yang
kesurupan syethan yang tercekik. Abdullah bin Abas menerangkan mengenai ayat
ini bahwasannya kelak di hari kiamat akan dikatakan kepada para pemakan riba:
'Angkatlah senjatamu untuk
berperang'.
Muhammad Ali
Ash-Shobuni lebih lanjut menerangkan dalam tafsirnya "Dipersamakannya
pemakan riba dengan orang-orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus
sekali, yaitu Allah memasukkan riba kedalam perut mereka lalu barang itu
memberatkan mereka, sehingga sempoyongan, jatuh bangun. Hal ini menjadi
ciri-ciri mereka dihari kiamat sehingga semua orang mengenalnya."
2.
"Kemudian jika kamu tidak mau mengerjakan
(meninggalkan riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu."
(QS: Al-Baqarah: 279).
Maksud dari ayat ini
bahwasannya apabila seseorang tidak mau meninggalkan aktifitas riba,
maka ketahuilah baginya berhak
untuk diperangi didunia dan diakhirat kelak akan dilempar kedalam api neraka,
karena melanggar perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Lafadz 'harbun' ( ) dengan bentuk nakiroh adalah untuk menunjukkan besarnya
masalah ini, lebih-lebih dengan menisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Seolah-olah
Allah memaklumkan :
'Percayalah akan ada
suatu peperangan yang dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak mungkin dapat
dikalahkan. Hal ini mengisyaratkan akibat-akibat yang paling mengenaskan yang pasti akan dialami
oleh para pemakan riba.
Adapun lafadz 'kaffar'(
) dan 'Atsim' ( ) yang termasuk sighot mubalaghoh, yang artinya menunjukkan banyak kekufuran dan banyak
berbuat dosa (dalam QS. Al-Baqarah: 276) melukiskan bahwa keharaman riba itu keras sekali, termasuk perbuatan orang-orang kafir dan bukan
perbuatan orang-orang Islam.
Barang siapa yang
merenungkan makna ayat-ayat tadi dengan segala kandungannya seperti gambaran
yang akan menimpa para pemakan riba, orang yang menghalalkannya, maka dia akan mengetahui
betapa keadaan mereka kelak di akhirat. Mereka akan dikumpulkan dengan keadaan
gila dan kesurupan, kekal di neraka, dipersamakan dengan orang kafir, akan mendapatkan perlawanan
dari Allah dan Rasul-Nya yang mustahil terkalahkan. Itulah balasan mereka yang
masih melakukan praktek-praktek riba termasuk orang-orang yang menghalalkannya.
Na'udzubillahi min dzalika.
Ancaman Dari Hadits dan Pendapat Shahabat
Tidak ada seorang muslimpun yang tidak mengetahui bahwa melakukan riba adalah sesuatu yang terlarang dan harus dihindari. Bahkan riba termsuk salah satu dosa besar. Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
"Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan
.... (salah satunya
adalah) memakan riba ....".
(HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karaena itu, orang yang melakukan riba akan
mendapatkan laknat dari Allah, sebagaimana diriwayatkan dari Jabir bahwasanya
Rasuilullah SAW bersabda:
“Jabir menuturkan
bahwa Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya,
penulisnya, dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama.”
(HR. Muslim dan Ahmad, Shahih)
Di dalam hadits-hadits
yang lain dinyatakan bahwa perbuatan riba lebih menjijikkan dari pada perbuatan
zina. Dari Abdullah bin Mas'ud, Nabi SAW bersabda:
"Riba itu mempunyai 73 pintu, sedangkan yang paling
ringan adalah seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya ..." (HR. Ibnu Majah dan Al Hakim).
"Satu dirham yang diproleh seseorang dari hasil riba lebih besar dosanya 36 kali dari
perbuatan zina dalam Islam", (HR. Baihaqi dari Anas bin malik)
Menurut Muhammad Ali
Sais jika seseorang
melakukan riba tetapi tidak taubat, maka seorang Imam harus menghukumnya dengan
hukuman ta'zir.
Berdasarkan keterangan
di atas Orang yang masih melakukan riba akan menghadapi sanksi yang sangat
keras di dunia, dan di akhirat kelak akan mendapatkan dirinya dilempardan kekal
di neraka. Abu Hurairah ra. berkata bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
"Tatkala malam aku di mi'rajkan, aku melihat suatu
kaum yang perut mereka bagaikan rumah, tampak di dalamnya ular-ular berjalan
keluar, lalu aku bertanya;
"Siapakah mereka itu wahai Jibril ?" Jawab Jibril, "Mereka adalah para Pemakan
riba".
Barangkali ada baiknya
jika Kita meneladani bagaimana sikap para shahabat dalam menghadapi persoalan
ini. Diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata : "Diantara ayat-ayat yang
terakhir turunnya adalah ayat tentang riba, dan Rasulullah meninggal dunia
sebelum menerangkan perinciannya kepada kami, oleh karena itu tinggalkanlah
riba dan setiap hal yang meragukan".
Bagi kaum muslimin yang
telah mengetahui persoalan ini hendaknya bertindak sami'na wa atho'na, kami
dengar dan kami mentaatinya, oleh karena haramnya riba telah sampai kepada
kita. Tidak ada hak bagi seorangpun untuk mencari-cari alasan guna menghindari
haramnya hukum riba dan tidak ada dalil sedikitpun yang membolehkan persoalan
ini dari keharamannya. Tidak ada seruan yang paling baik dalam masalah ini
selain apa yang diserukan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan terhadap mahluq
dalam hal melanggar persoalan-persoalan yang melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Wahai kaum Muslimin tidakkah kalian
membayangkan betapa dahsyatnya balasan bagi para pelaku riba, pedihnya siksaan
yang akan mereka alami dan sepanjang hidupnya mendapatkan laknat dari Allah dan Rasulnya? Dan tidakkah kalian perhatikan
bagaimana dalam ayat riba pada akhirnya Allah memperingatkan kepada kita :
"Dan peliharalah dirinmu (dari adzab) pada suatu hari, dimana kamu sekalian akan dikembalikan kepada Allah di hari itu, kemudian masing-madsing jiwa akan dibalas dengan sempurna apa yang telah dikerjakannya itu dan mereka tidak akan dianiaya".
(QS. Al-Baqarah: 281)
Wallahua’lambisshowab
Posting Komentar untuk "BAHAYA RIBA"