Anak adalah 'Perawi yang Dhabit'
Oleh : Ust. Herman Anas**
ANAK adalah buah hati (tsamaratul qalb). Anak shaleh adalah penyejuk mata (qurratu a’yun) bagi orang tua. Berbagai upaya dilakukan agar anak menjadi anak shaleh. Tarbiyah dilakukan baik di rumah dan di sekolah.
Anak kecil masih bersih dan fitrah, sehingga kalau meninggal dalam usia belia mereka dijamin masuk Surga. Segala perbuatan, perkataan dan diamnya adalah meriwayatkan. Maka, orang tua bisa melakukan verifikasi terhadap semua perkataan dan tingkah laku anak.
Sebagaimana anak-anak di zaman Nabi. Para Sahabat yang berinteraksi dengan Nabi sejak kecil banyak yang mejadi perawi (orang yang meriwayatkan/menyampaikan hadits Nabi) terbanyak. Pertama, Abdullah bin Umar lahir tahun kedua kenabian meriwayatkan 2.630 hadits.
Kedua, Anas bin Malik membantu Nabi di umur 10 tahun meriwayatkan 2.286 hadits. Ketiga, Ummul Mukminin Aisyah lahir tahun keempat kenabian. Berkumpul dengan Nabi di usia 9 tahun. Meriwayatkan 2.210 hadits.
Keempat, Ibnu Abbas lahir tahun ketiga sebelum hijriah. Meriwayatkan 1.660 hadits. Kelima, Jabir bin Abdillah lahir tahun 16 sebelum hijriah. Meriwayatkan 1.540 hadits.
Orang-orang terdekat adalah orang yang paling banyak mempengaruhi anak. Mulai lingkungan keluarga, ayah-bunda, kakek-nenek, lingkungan sekolah dan tetangga di rumah. Merekalah sumber informasi ilmu anak.
Benarlah
sabda Rasulullah ﷺ:
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ
اللَّهِ أَخْبَرَنَا
يُونُسُ عَنْ
الزُّهْرِيِّ قَالَ
أَخْبَرَنِي أَبُو
سَلَمَةَ بْنُ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ
أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَا مِنْ
مَوْلُودٍ إِلَّا
يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ كَمَا
تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ
بَهِيمَةً جَمْعَاءَ
هَلْ تُحِسُّونَ
فِيهَا مِنْ
جَدْعَاءَ ثُمَّ
يَقُولُ { فِطْرَةَ
اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ
اللَّهِ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ
}
“Telah menceritakan kepada kami [‘Abdan] Telah mengabarkan kepada kami
[Abdullah] Telah mengabarkan kepada kami [Yunus] dari [Az Zuhri] dia berkata;
Telah mengabarkan kepadaku [Abu Salamah bin Abdurrahman] bahwa [Abu
Hurairah radliallahu
‘anhu] berkata; Rasulullah ﷺ
bersabda: ‘Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada
dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya
menjadi Yahudi, Nashrani, ataupun Majusi -sebagaimana hewan yang dilahirkan
dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka, apakah kalian merasakan adanya cacat?
‘ kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi: ‘…tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan
atas fitrah Allah.’ (QS: Ar Ruum (30): 30). (HR. Bukhari)
Hadits ini mudah dipahami. Karena memang anak lebih banyak waktu dengan orang tua dibandingkan dengan di sekolah, lingkungan bermain, sepanjang malam mereka bersama orang tua. Pada hadits di atas, bukan hanya aktifitas keseharian, perkataan dan perbuatan, bahkan agama sekalipun orang tua mampu mengubah dan menggantinya.
Anak
melakukan aktifitas yang kompleks di rumah. Mereka melakukan aktivitas penuh
pengulangan, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Hal ini dilakukan hari
demi hari. Bulan demi bulan hingga berganti tahun.
Bersama orang tua mereka anak melakukan aktifitas ruh, fisik, keterampilan,
bahkan ibadah seperti shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Jarak jeda
hanya di antara sebelum dan sesudah shalat. Anak-anak bisa mempraktikkan
majelis ilmu, adab, tadabbur ayat-ayat Al-Qur’an, latihan sedekah, doa-doa
harian, dan seterusnya. Karena itulah, semua aktifitas akan terekam kuat oleh
anak (dhabit, red). Benarlah
sebuah ungkapan:
ما للاباء
للابناء
Apa yang dipunyai ayah akan diwarisi anak.
‘Riwayat
Guru’
Di samping orang tua, anak juga meriwayatkan apa yang dilihat dan ditemui dari
guru. Betapa banyak ahli hadits meriwayatkan dari gurunya.
Tak sedikit anak-anak kita meniru bahkan lebih tunduk pada gurunya. Betapa banyak para ulama dalam biografi-biografinya juga terpengaruh oleh gurunya bahkan meneruskan bidang keilmuan gurunya.
Di dalam Kitab Ta’lim, Sultan Iskandar Dzulqarnain pernah ditanya, mengapa engkau lebih menghormati guru dibandingkan ayahmu?
لان ابى
انزلنى من
السماء الى
الارض واستاذى
يرفعنى من
الارض الى
السماء
Karena sesungguhnya ayahku adalah orang yang menurunkanku dari langit ke bumi,
sedangkan guruku mengangkatku dari bumi ke langit.
Guru adalah sebaik-baik ayah bahkan guru adalah ayah dari sisi agama (abuddin) dan ayah dari sisi ruh (aburruh). Bagaimana jika sekolah tidak peduli pada agama dan ruh anak?
Setelah
guru dan orang tua, lingkungan bermain anak juga mejadi sumber informasi bagi
anak. Anak akan banyak meriwayatkan dari majelis-majelis ini. Rasulullah
memperingatkan serius bahwa teman sampai mampu mempengaruhi agama, dalam
sabdanya:
المرء على
دين خليله
فلينظر أحدكم
من يخالل
“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat
siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Orang
tua harus melakukan pengecekan atau verifikasi. Sudahkah anak banyak
meriwayatkan dari orang tua?
Dari mana anak dapat kata-kata kotor? Hal yang berkaitan dengan iman, adab, dan
syariat dasar. Huruf hijaiyah, doa-doa harian bacaan shalat, rukun iman yang
enam, adab keseharian seharusnya meriwayatkan dari orang tua meskipun nantinya
akan disempurnakan oleh para guru.
Kenapa demikian? Karena waktu lebih banyak dengan orang tua apalagi di masa pandemi saat ini.
Akhirnya, orang tua harus senantiasa perhatian terhadap perkembangan anak. Segala aktifitas perbuatan dan perkataan anak bisa dirunut dari mana riwayatnya.
Orang tua harus menjadi sumber matan atau isi kebaikan bagi anak. Perkataan, perbuatan, dan diamnya orang tua akan menjadi isi bagi anak (baik pikiran dan perilakunya). Bahkan perkataan sekecil apapun seperti, assalamualaikum, Allahu rabbi, jazakallah, terima kasih, minta maaf, dan minta tolong, semua itu anak dapatkan dari meriwayatkan. Dari siapa? Semua itu berasal dari, ayah bunda, guru, dan lingkungan
*Tulisan ini telah dipublikasikan pada Hidayatullah.com edisi 19 Agustus 2020
**Penulis adalah Alumni PP Annuqoyah – Sumenep, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN KHAS – Jember, Pembina MT. Kalam.
Posting Komentar untuk "Anak adalah 'Perawi yang Dhabit'"